Andai Mbah Jazuli Tak Patuh Saran Kiai, Pondok Ploso Tak Berdiri. Begini Ceritanya
Cari Berita

Advertisement

Andai Mbah Jazuli Tak Patuh Saran Kiai, Pondok Ploso Tak Berdiri. Begini Ceritanya

Duta Islam #03
Minggu, 25 Maret 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: Istimewa
DutaIslam.Com - Sekilas tentang sosok Kiai Nusantara Pendiri Pesantren Al Falah Ploso Kediri Si Mbah KH Djazuli Utsman yang menarik untuk diteladani.

Beliau dilahirkan pada 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman, seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud, nama kecil Kiai Djazuli, beruntung karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA(Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.

Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab Raden M. Utsman kedatangan tamu, KH Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal Waliyullah.

“Pundi Mas’ud?” tanya Kiai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab ayah Mas’ud.

“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang prayogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kiai Ma’ruf.

Karomah Berkah Ngaji
Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren.

Melanglang buana mencari ilmu ke berbagai guru yang mutawatir sanadnya, diantaranya adalah Pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang, KH Dimyati Tremas Pacitan, KH Zainuddin Mojosari, Syekh al Allamah al Aidrus Makkah, dll.

Akhirnya pada tahun 1924, beliau membuka pengajian dengan menggunakan sistem sorogan. Ketika pengajian baru dimulai hanya ada 12 orang santri yang mengikutinya. Namun tak lama kemudian, jumlah santri yang ingin mengaji semakin bertambah.

Setengah tahun kemudian, tepatnya 1 Januari 1925, KH A Djazuli Usman mendirikan sebuah madrasah dan pondok pesantren. Beliau memanfaatkan serambi Masjid untuk kegiatan belajar mengajar para santri.

Hingga kini pondok yang biasa disebut dengan nama desanya yakni Ploso, santrinya datang dari berbagai penjuru nusantara, ribuan yang mengeyam ilmu di dalamnya dan hampir tidak ada pondok pesantren besar kecuali pernah mengaji kepada KH Djazuli Ustman.

Di samping mempunyai santri-santri hebat, beliau dikarunia putra yang sholeh dan menjadi pemimpin pada zamannya. Semisal KH Zainuddin Jazuli, KH Nurul Huda Jazuli, Gus Miek, KH Fuad Jazuli, dan KH Munif Jazuli. Semua putranya itu menjadi ahli ilmu, keberkahan dari istiqamah mengaji kepada ayahnya, KH Jazuli.

Dari beberapa penuturan KH Nurul Huda Djazuli, sewaktu penulis (Ahmad Zain Bad) mondok dahulu, bahwa Mbah Kiai Jazuli itu setiap harinya mbalah 16 sampai 19 kitab, dari pagi sampai malam, mulai kitab terkecil sampai kitab yang berpuluh-puluh jilid.

Begitu aktivitas keseharian beliau. Beliau jarang sekali mendatangi undangan karena lebih ngopeni para santri yang datang dari beberapa penjuru nusantara. Hampi hampir kegiatan mengaji tidak pernah libur.

Langit Turut Berduka
Beliau wafat pada Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Konon, sebagian anak-anaknya yang masih kecil di Ploso, saat menjelang wafatnya KH Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian beliau.

Seandainya beliau memaksa untuk melanjutkan sekolah kedokterannya, dan tidak patuh pada orangtua mungkin kisahnya tidak akan seindah ini.

ونفعنا الله بعلومهم وباسرارهم في الدارين امين.

Pada haul ke-42 KH Djazuli bertepatan pada tanggal 9 Oktober 2016, Mbah Kiai Nurul Huda Djazuli berpesan tentang pentingnya memondokkan anak:

Panjenengan purun mondok-aken putrane niku sami kaleh Jihad Li’i‘lai Kalimatillah hiyal Ulya. Kito harus ndamel generasi kiai-kiai tangguh seng sakniki katah ingkang tilar dunyo.

“Anda mau memondokkan anaknya itu sudah seperti Jihad mejunjung tinggi agama Allah. Kita harus mencetak generasi Ulama-ulama yang tangguh, yang mana pada saat ini banyak sekali Ulama sepuh yang meninggal dunia” [dutaislam.com/pin]

Keterangan:
Ditulis oleh Ahmad Zain Bad,An-Nur II Bululawang Malang. 

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB