10 Menit Gus Dur Putuskan Pancasila itu Islami dan Final
Cari Berita

Advertisement

10 Menit Gus Dur Putuskan Pancasila itu Islami dan Final

Duta Islam #02
Selasa, 02 Januari 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: Istimewa
DutaIslam.Com - Memutuskan persoalan yang membutuhkan dasar pemikiran yang mendalam dan kajian serius tidaklah mudah. Tetapi lain halnya ketika persoalan tersebut hadir di tangan KH Abdurrahman Wahid (1940-2009) atau Gus Dur ketika memimpin rapat soal substansi Pancasila sebagai dasar negara dan organisasi di Indonesia dalam Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur.

Setidaknya ada beberapa alasan mendasar NU membahas Pancasila ke forum tertinggi organisasi, Muktamar. Dasar bahwa Pancasila mampu mempersatukan seluruh bangsa tidaklah cukup bagi sejumlah ormas Islam di Indonesia. Meskipun NU sendiri tidak pernah mempersoalkan keberadaan Pancasila karena dirancang sendiri secara teologis maupun filosofis oleh KH Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur.

Menjelaskan hubungan Islam dan Pancasila tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena jika hal ini berhasil dilakukan NU, ormas Islam di Indonesia merasa terbantu secara dasar syar’i. Sebab itu, Pancasila sebagai dasar mutlak dalam berbangsa dan bernegara harus juga dijelaskan oleh NU untuk menegaskan bahwa lima sila yang dipelopori oleh Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 tersebut dapat diterima secara final sebagai pondasi negara yang Islami.

Riwayat ketika Gus Dur secara mudah memutuskan bahwa Pancasila itu Islami dan final diceritakan oleh salah satu sahabat Gus Dur, KH Ahmad Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus. Bahkan, Gus Mus sendiri merupakan pelaku sejarah dalam perumusan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi dalam Muktamar NU 1984 tersebut. Dia salah satu kiai yang ditunjuk oleh Gus Dur untuk menjadi anggota dalam tim perumusan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila.

Muktamar NU 1984 juga menjadi tonggak sejarah bagi organisasi para kiai pesantren ini untuk kembali ke Khittah 1926. NU menegaskan diri sebagai jami’yyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi sosial kegamaan) sesuai amanat pendirian organisasi pada 1926, bukan lagi sebagai organisasi politik praktis.

Dalam Muktamar 1984 itu ada tiga komisi, salah satunya adalah komisi khittah yang membahas paradigma, gagasan dasar, dan konsep hubungan Islam dan Pancasila. Dua komisi lain membahas tentang keorganisasian yang dipimpin oleh Drs Zamroni dan komisi AD/ART dipimpin oleh KH Tholhah Mansur. Dengan jumlah anggota rapat komisi yang cukup banyak, mereka membahas secara terpisah di tempat yang berbeda.

Gus Dur memimpin subkomisi yang merumuskan deklarasi hubungan Islam dan Pancasila. Salah seorang cucu Hadltrassyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari  (1871-1947) ini kemudian menunjuk lima orang kiai sebagai anggotanya, yaitu KH Ahmad Mustofa Bisri dari Rembang, Dr KH Hasan dari Medan, KH Zahrowi, KH Mukafi Makki, dan Dr Muhammad dari Surabaya.

Gus Dur membuka rapat dengan bertanya kepada anggotanya satu per satu soal pendapatnya tentang hubungan Islam dan Pancasila. Mereka menyampaikan pandangannya terhadap satu per satu sila dalam Pancasila disertai sejumlah argumen keagamannya. Gus Dur mendengarkan dan menyimak dengan penuh perhatian.

Pada dasarnya, Pancasila menurut para kiai dalam subkomisi ini tidak bertentangan dengan Islam, justru sebaliknya sejalan dengan nilai-nilai Islam. “Pancasila itu Islami,” simpul mereka seperti diungkapkan Gus Mus.

Usai mereka menjawab, Gus Dur berkata, “Bagaimana jika ini (Pancasila itu Islami, red) saja yang nanti kita sampaikan, kita deklarasikan di hadapan sidang pleno Muktamar?” tanya Gus Dur. Tanpa pikir panjang, mereka setuju, sepakat bulat, lalu rapat ditutup. “Al-Fatihah!” Menurut pengakuan Gus Mus, kala itu Gus Dur tersenyum manis, ya manis sekali.

Lalu Gus Mus memberikan kesaksian, “Gus Dur hebat sekali. Rapat untuk sesuatu yang mendasar dan pondasi bagi penataan relasi kehidupan berbangsa dan bernegara hanya diputuskan dalam waktu 10 menit! Sementara komisi yang lain rapat sampai berjam-jam bahkan hingga subuh untuk memutuskan pembahasan sesuai bidangnya masing-masing.”

Dalam perhelatan Muktamar yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo itu terpilih Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU dan KH Achmad Siddiq (1926-1991) sebagai Rais ‘Aam. Kiai Achmad Siddiq ditunjuk langsung sebagai Rais ‘Aam oleh KH Raden As’ad Syamsul Arifin (selaku Ahlul Halli wal Aqdi). Penunjukkan Kiai As’ad disepakati oleh berbagai pihak.

Sebagai salah satu tokoh arsitek Khittah NU 1926 dan juga berperan penting dalam ikut merumuskan pondasi hubungan Islam dan Pancasila, KH Achmad Siddiq menyampaikan sebuah pidato. Berikut salah satu cuplikan pidato Kiai Achmad Siddiq yang begitu berkesan bagi umat Islam Indonesia, khususnya Nahdliyin:

“Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nation (bangsa), teristimewa kaum muslimin, untuk mendirikan negara (kesatuan) di wilayah Nusantara. Para Ulama dalam NU meyakini bahwa penerimaan Pancasila ini dimaksudkan sebagai perjuangan bangsa untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial.” [dutaislam.com/fathoni ahmad/gg]

Disarikan dari buku “Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus” karya KH Husein Muhammad (Noura Books, 2015).

Source: NU Online

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB