Foto: Istimewa |
Demikian hal itu disampaikan Mahfud MD dalam diskusi yang ILC TVOne, Selasa (05/12/2017) melalui sambungan video call. Bagaimana kira-kira tanggapan HTI terkait hal ini?
HTI tidak akan mengakui NKRI sebagai negara khilafah, karena:
1. NKRI tidak mencakup semua bangsa dan negeri di dunia.
2. NKRI tidak memformalkan seluruh syariat Islam.
Jawaban atas permasalahan ini sebagai berikut:
1. Wewenang khalifah dalam menerapkan syariat Islam dibatasi wilayah hukum dan wilayahnya (wilayah negaranya). Umat Islam di luar wilayah hukum khalifah, tidak ada hak dan kewajiban khalifah untuk menerapkan hukum syariat atasnya. Ini yang dialami umat Islam di Mekah setelah perjanjian Hudaibiyah.
Adanya lebih dari satu negara Islam pada satu masa terjadi sejak Rasulullah saw di Madinah. Setelah perjanjian Hudaibiyah muncul negara Islam di Habasyah setelah Raja Najasyi masuk Islam. Bahrain dan Yaman juga kemudian jadi negara Islam. Keempat negara Islam di masa Nabi ini secara politik dan teritorial adalah terpisah cuman semuanya menerapkan syariat Islam.
Karena itu makna khilafah sebagai kepemimpinan umum maksudnya kepemimpinan umum dalam batas - batas wilayah hukum dan politiknya. Bukan umum tanpa batas.
2. Penerapan Syariah Islam oleh penguasa dalam satu negara termasuk ibadah ghairu mahdhah, yang dinilai akad dan maqashidnya bukan niat dan kaifiyatnya (formalisasinya).
Tampaknya HTI memahami definisi khilafah sebagai kepemimpinan umum ('am) bi ma'na muthlaq (tanpa syarat dan tanpa batas), padahal kata 'am dan muthlaq itu berbeda. 'am makna apa mencakupi semua jenis aspek kehidupan dan jenis semua manusia dalam batas hukumnya.
HTI masih keliru memahami hadits: idzaa buyi'a li khalifatain faqtulu akhiru minhuma. 'Khalifatain' di sini maksudnya dalam teritorial satu negara. Maksudnya, tidak boleh ada dua khalifah dalam satu negara. Salahnya, HTI mereka memahami 'khalifatain' dalam satu dunia. Sehingga HTI beranggapan di satu dunia ini, satu umat ini wajib satu khalifah. Satu umat, satu dunia, satu negara dan satu Khalifah itu persepsi HTI.
Padahal, kenyataannya sejak zaman Nabi di Madinah: satu umat, satu dunia, satu Nabi tapi beberapa negara dan beberapa kepala negara. [dutaislam.com/ed/pin]