[Esai Gus Dur] Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama
Cari Berita

Advertisement

[Esai Gus Dur] Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama

Duta Islam #02
Minggu, 24 Desember 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: NU Online
Oleh KH Abdurrahman Wahid

DutaIslam.Com - Di dalam kesejarahan umat Islam, ada suatu tradisi yang perlu kita warisi dan terus kita kembangkan. Tradisi ini telah berkembang berabad-abad lamanya, yaitu: watak penyerapannya yang tinggi atau yang sering disebut orang sebagai “Eclectic”. Seperti Imam Abu Hanifah (Ibnu Tsabit bin Nu’man, Abu Hanifah), disamping ia seorang yang sangat alim dalam ilmu fiqh ia juga seorang penjahit (kalau istilah sekarang, ya “Hanafi Tailor” begitulah).

Abu Hanifah, seorang yang ahli memotong pakaian (kana bazzazan bil Qufah, Hanifah adalah seorang  ahli mode dari kota Kufah). Dia juga seorang yang mampu menggali khazanah arsitektur dari luar negeri Arab. Seperti misalnya, dari Samarkand, Ma Waroan Nahr dan negeri-negeri lainnya. Khazanah arsitektur itu, seperti mode “Arabes” atau lengkung-lengkung yang tak ada di negeri Arab ketika itu.

Begitu pula Imam Syafi’i, beliau adalah seorang pendiri madzhab (ahli fiqh) bahkan pencipta ilmu ushul fiqh: terkenal dengan kitabnya “Al-Risalah”. Kitab ini tercipta, lantaran ada pertanyaan dari salah seorang muridnya (Abdurrahman Ibnu Mahdi) mengenai kedudukan atau fungsi akal dalam kaitannya dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Pertanyaan ini, lantas dijawab Imam Syafi’i dengan surat (Al-Risalah) yang panjangnya empat ratus halaman.

Di pihak lain, Imam Syafi’i adalah seorang “kritikus sastra” (naqidul Adaby) yang cukup disegani. Timbangannya sangat dihargai para penyair dan sastrawan, untuk mengukur kemurnian bahasa Arab karena beliau merupakan salah seorang yang paling ahli dalam lughat (bahasa) kabilah bani Hudzail (Kabilah yang paling murni bahasa Arabnya). Andaikan Imam Syafi’i masih hidup, ya menjadi ketua Dewan Kesenian begitulah. Saya kan hanya itbak. (Abdurrahman Wahid adalah ketua DKJ).

Sikap hidup seperti Imam Hanafi, Imam Syafi’i merupakan satu contoh dari sikap yang eclectic (kemampuan daya separ yang tinggi), kosmopolitan, kata orang sekarang. Seluruh Imam dan mujtahid, hampir mempunyai watak yang demikian.

Kita lihat misalnya Ibnu Qutaibah Al-Dinawari (pengarang Ikhtilaful Muhadditsin) yang sangat dalam pengetahuannya dalam ilmu Hadits. Tetapi dilain pihak, beliau adalah seorang budayawan yang mempu menulis kitab “Ensiklopedi para sastrawan dan penyair” (Thabaqatus Syu’arak). Jadi, sangat kelihatan sekali watak eclectic-nya.

NU, sebenarnya mewarisi watak yang demikian ini. Artinya, ia juga mempunyai kemampuan daya serap yang tinggi terhadap budaya luar, yang dimungkinkan untuk menjadi kemanfaatan bagi diri dan umat Islam pada umumnya. Satu contoh, pesantren-pesantren di Malaysia tidak mau menerima nilai-nilai baru yang datang dari luar seperti, sistem sekolahan atau sistem jadwal. Pesantren di sana, tetap mempertahankan pola-pola lama didalam mengolah mengolah pendidikannya.

Akhirnya, pesantren di sana ditinggalkan arus kehidupan masyarakat sekelilingnya. Orang mau masuk ke pesantren, pada umumnya jika telah mengalami kejenuhan dan kejemuan kehidupan kota yang urban. Pesantren dengan demikian, lalu menjadi tempat pelarian bagi mereka yang frustasi dengan kehidupan kota.

Tidak demikian halnya dengan pesantren di Indonesia. Berdasarkan kemampuan menyerap itu, maka pesantren dapat sistem sekolah, sistem jadwal atau hal-hal lain yang memang memberi manfaat bagi dirinya. Dengan arti, pesantren di Indonesia dapat menerima dari luar yang baik, tanpa harus kehilangan esensi dasarnya. Sehingga prinsip: al-Muhafazhah bil qadimis shalih, wal akhdzu bil jadidil ashlah, tetap dipertahankan. Kitab “Al-Amtsilatu Tashrifiyah” (Kitab Sharraf) yang digubah Kiai Maksum bin Ali, Jombang, merupakan contoh konkret dari penerimaan nilai-nilai baru; metodanya diambil dari luar, sedangkan isinya ya dari kitab-kitab seperti Nazhmul Maqshud dan semacamnya. Kitab ini, karena bagusnya metoda penyampaian yang digunakan, sampai dikembangkan di Mesir (Al-Azhar).

Kembali pada watak penyerapan, maka NU mengundang para sarjana justru menginginkan nilai-nilai baru sebagai masukan (input) untuk dikembangkan melalui program-program yang akan dilaksanakannya. Tentu, nilai-nilai baru yang akan diserap itu yang bermanfaat, ya menjadi catatan saja. Watak penyerapan ini memang amat dipertahankan NU, karena ada beberapa hal yang harus dihadapinya secara arif. Beberapa hal itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Pertama, dan ini yang paling berat, adalah garapan Muktamar NU yang memakan waktu 18 bulan. Dari sudut materi, kita mulai menggarap secara serius sejak bulan Agustus 1983 dan baru selesai sekitar beberapa saat yang lalu. Oleh karena itu, sampai usainya Muktamar banyak susulan-susulan pikiran melalui rapat pengurusnya. Bahkan sampai sekarang, masih ada materi yang belum selesai yaitu: Al-Adillatun Naqliyyah tentang khittah 1926, yang juga mesti disertai pendapat para ulama. Mengapa hal ini dikatakan paling berat? Ya karena ini menyangkut masalah Ideologi negara kita dalam hubungannya dengan Islam.

Abad XIX, Abad Ideologi
Masalah yang cukup urgen, bahwa secara ideologis kita berdasarkan fakta sejarah, yang konstruk (urutan-urutan kesejarahan)nya antara Pancasila dan Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:

Abad yang lalu (XIX), adalah abad Ideologi. Setelah kita memasuki masa “renaisance” (abad kebangunan pemikiran manusia) sekitar abad XV dan abad XVI, dan pada abad XVII kita memasuki masa “Aufklarung” (pencerahan), maka manusia seolah-olah dapat menemukan kunci untuk berkuasa di alam raya ini. Abad XVIII, kemudian ditandai dengan munculnya faham rasionalisme atau bisa juga dikatakan munculnya abad industri. Lantas pada abad XIX, masuk pada abad “Ideologi”.

Pada abad ini, diawali dengan munculnya komunisme metika Karl Marx menulis buku “Das Kapital”, kemudian bersama Friedrich Engels mengeluarkan “Manifesto Komunis” yang merupakan pandangan sosialitik pertama.

Ide Karl Marx dan Engels ini, lantas dikembangkan oleh Lenin, di penghujung abad ini. Di Jenewa, Lenin mengasingkan diri dan mulai mempelajari Marxisme. Kemudian, berkesimpulan bahwa Manifesto Komunis tidak bisa dilaksanakan, kecuali ada “Partai Komunis”. Artinya, harus ada sekelompok kecil yang dengan sadar mampu melaksanakan revolusi.

Maka sejak itu, muncullah konsep Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Ini diterapkan di Rusia sejak tahun 1917. Begitu pula paham “Nasionalisme” juga muncul pada abad ini. Pemikir-pemikir cemerlang seperti Garivaldi, Ernest Renan merupakan tokoh-tokoh pemikir Nasionalis; yang kalau di Indonesia kita kenal seperti Soekarno dan lain-lainnya.

Kapitalisme dalam artian ideologis, juga muncul pada abad XIX. Kita kenal pemikirnya seperti Hamilton, salah seorang menteri keuangan Amerika yang kuat dan mampu merumuskan ideologi Kapitalisme secara cemerlang melalui karya-karyanya tentang “federalisme”. Begitu pula cara-cara kerja ekonomi kapitalis yang pernah dirumuskan oleh Tylor.

Sosialisme, secara ideologi, terbagi menjadi dua. Yaitu yang Marxisme komunistis sosialis di satu pihak, dan Marxisme sosialistis dalam arti yang demokrat; dimulai Roza Lockzomborg, Karl Kautsky dan sebagainya. Nanti, ujungnya sampai pada nama-nama seperti Lee Kuan Yew (Singapura), Prof. Soemitro, Prof. Widjojo Nitisastro dan lain sebagainya yang semuanya bersumber pada abad XIX.

Nah, termasuk Islam sebagai ideologi juga lahir pada abad XIX. Lahirnya Islam sebagai pemahaman ideologis ini karena umat Islam dijajah oleh kolonialisme. Karena terjajah, tentu semua cara digunakan untuk melepaskan diri menuju kemerdekaan, termasuk juga agama. Dan agama, dalam hal ini, harus diberi bentuk perjuangan yang jelas bahkan politis sekali: merebut kekuasaan negara.

Karena hanya dengan cara seperti itulah umat Islam bisa merdeka. Kristen juga begitu, di beberapa tempat seperti di Filipina, Amerika Latin dan lain-lainnya agama dijadikan alat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Jadi kita dapat melihat kaitan antara agama sebagai ideologi, yang muncul bersamaan dengan munculnya ideologi-ideologi dunia yang sekuler. Dengan kata lain, agama juga menjadi ideologi dunia.

Pemahaman secara ideologis ini, dimulai dari Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rashid Ridha, dan yang lain-lainnya. Memang, dari mereka ini ada percobaan untuk mengadakan pembaruan pemahaman Islam. Tetapi kalau melihat karya-karya para ahli keislaman yang cukup obyektif dalam menilai mereka, dikatakan bahwa apa yang diperbuat Afghani, Abduh dan sebagainya kalau dipandang dari sudur modernisasi maka pembaruan yang mereka lakukan itu gagal total.

Tetapi kalau mau melihat al-Aghani, jangan dilihat dari sudut ini. Tetapi lihatlah dari segi keberhasilannya merumuskan konsep Islam sebagai ideologi politik. Dan disini, kita dapat melihat bagaimana ideologi-ideologi dunia atau ideologi-ideologi universal masing-masing mempunyai pandangan berbeda mengenai berbagai hal seperti kemasyarakatan, perekonomian dan lain sebagainya. Dan ini masuk ke Indonesia dengan masuknya sains modern, dengan adanya sistem sekolah, anak-anak Indonesia mulai sekolah ke Belanda dan kolonial Belanda sendiri mulai berbeda pendapat; ada yang berpegang pada politik etik, ada yang konservatif. Semua itu menunjukkan pada masuknya ideologi-ideologi dunia ke Indonesia pada permulaan abad ini (XX).

Ideologi-ideologi universal yang masuk ke Indonesia itu ada dua macam, yang satu ideologi sekuler, menghendaki agar jangan sampai agama menjadi salah satu kekuatan penentu dalam kehidupan kenegaraan. Negara harus netral dalam soal agama. Bahkan kalau perlu seperti di Amerika sekarang, UUD melarang doa dibaca di dalam kelas. Jadi, guru mengajar doa di kelas itu bertentangan dengan UUD, karena di sana agama adalah urasan pribadi; negara tidak mengurusi agama. Ini adalah ideologi-ideologi dunia yang sekuler (nasionalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme).

Kedua, adalah ideologi universal yang juga ada di Indonesia, menginginkan agar agama menjadi kekuatan penentu (utama) dalam kehidupan bernegara atau negara teokratis (negara syari’at). Jadi negaranya yang bertanggungjawab pada dilaksanakannya syari’at atau tidaknya. Sudah tentu tak dapat dihindari, lambat laun menjadi perdebatan sengit ketika bangsa Indonesia mau merdeka.

Tahun-tahun 1930-an Pak Natsir, Agus Salim, Tan Malaka, Bung Karno, Hatta, Syahrir, semuanya terlibat dalam perdebatan sengit tentang bentuk negara atau dasar negara Indonesia jika merdeka nanti. Sampai dua belas tahunan perdebatan antara ideologi sekuler dan teokratis ini. Keduanya sama-sama ideologi dunia yang hendak diterapkan di Indonesia, jadi sama-sama impor.

Ketika ada kabar bahwa Jepang kalah dengan tentara Sekutu, maka saat itu perdebatan sampai pada puncaknya. Mau negara apa, yang agama atau negara sekuler? Geger-geger toh salah satunya tak akan mungkin ada yang menang. Yang sekuler tidak bisa memaksakan sekulerisme mereka, karena kenyataanya Bangsa Indonesia ini Bangsa Religius, yang yakin akan keimanan agama dan yakin bahwa agama berperan dalam kehidupan negara, dan dengan sendirinya negara juga berperan dalam kehidupan agama.

Di pihak lain, para penganut ideologi universal yang teokratis (Islam) juga menyadari bahwa negara teokratik pada zaman Rasulullah di Madinah sudah tidak mungkin diterapkan di Indonesia, artinya seorang Presiden (Kepala Negara) sekaligus ulama, yang penentu segalanya, tidak akan mungkin. Sebab masyarakat kita sudah terlanjur dibentuk dalam suatu model yang terkotak-kotak. Akibat penjajahan, separuh dari masyarakat kita tidak tahu tulisan pegon, dan yang separuh lagi tidak mengerti tulisan latin. Jadi soal bacaan saja, negara ini tersobek menjadi dua. Sub tulisan Jawa, sub tulisan Toraja dan lain-lain.

Menuju Ideologi Nasional
Ini semua menunjukkan sudah terjadi proses kesamaan titik pandangan, bahwa dua macam ideologi ini tidak mungkin dilaksanakan di Indonesia, karena itu harus dicari satu titik temu; namanya “Republik Indonesia”. Ideologinya apa? Ideologinya Pancasila, Pancasila ideologi apa? Ideologi yang khusus diciptakan untuk bangsa Indonesia, oleh bangsa Indonesia sendiri, guna mempertautkan unsur-unsur ideologi yang beroperasi di Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila adalah ideologi Nasional yang dimaksudkan untuk menyimpulkan semua ideologi besar dunia dalam pelaksanaannya di Indonesia.

Kalau kita sudah mengerti ini, sebenarnya sudah tidak ada masalah antara Islam dan Pancasila, karena Pancasila juga bersumber dari Islam, dari Nasionalisme, dari Komunisme dalam Pancasila itu. Memang PKI nya dilarang, faham Marxisme dilarang, tapi semangat egalitarian (persamaan) nya ada dalam Pancasila. Semangat keadilan sosial itu miliknya komunis (Marxisme). Sebab tidak ada istilah “Keadilan Sosial” sebelum lahirnya faham komunis. Istilah “Sosial Justic” tidak ada sebelum itu. Jadi Pancasila itu hasil rangkuman dari macam-macam ideologi dunia.

Dari ideologi yang teokratik (Islam) diambil sila yang pertama, ini sudah merupakan kearifan dari Bapak-bapak kita, kearifan beliaulah yang akhirnya dapat membentuk nation yang merdeka, dan bebas dari komunalisme (pertentangan kelompok yang berlebihan) seperti di India.

Tetapi ketika kita merdeka, masalah ini juga belum selesai, karena para pengikut ideologi dunia itu, tetap saja pada kerangka acuannya semula. Di dalam dialog yang terus menerus itu ada perbenturan tak habis-habisnya. Ujungnya dalam konstituante macet total, dan yang terjadi adalah bahwa negara ini harus kembali pada UUD 1945 dan Pancasila melalui pemaksaan (Dekrit 5 Juli 1959). Dekrit itu adalah pemaksaan agar Pancasila dijadikan pola kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi bisa dikatakan bangsa kita ketika itu, masih terkotak-kotak dalam pemahaman ideologinya masing-masing, sedang Pancasila hanya dijadikan sampiran belaka.

Hal itu berarti mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal bangsa kita menghadapi tantangan besar. Heterogenitas sangat tinggi dalam banyak hal di satu pihak, sedang di pihak lain kita harus membangun satu nation. Karena itu pimpinan bangsa kita (bukan hanya pemerintah) memandang perlu adanya pemantapan ideologi Pancasila memalui P4.

Walaupun Pancasila dimantapkan melalui P4, ternyata belum mantap juga, karena partai-partai politik, organisasi sosial keagamaan ternyata masih tetap bersandar pada ideologinya masing-masing. Karena itu dicoba diadakan pertimbangan dengan pemantapan Pancasila sebagai satu-satunya Azas (satu ideologi Nasional). Bagi NU ini jelas. Sebab 4 (empat) bulan sebelum Munas di Situbondo (Desember 1983) kami sudah mengadakan tukar-pikiran dengan para konseptor Pancasila sebagai Asas Tunggal. Jadi tidak ada maksud untuk membuang agama.

Memang, kalau agama dipahami secara ideologis (seperti pemahaman model Al-Afghani, red.) itu yang tidak boleh. Artinya pada kehidupan kenegaraan kita masih ada satu masalah besar yang belum dipecahkan yaitu: masalah ideologi Nasional yang masih belum mantap karena ideologi-ideologi dunia masih tetap beroperasi di Indonesia. Oleh karena itu, wajar jika Presiden Soeharto bilang bilang hatinya lega (blong), ketika kita NU menerima Asas Pancasila.

Jadi pasalnya, Pancasila sebagai ideologi nasional dan wawasan kebangsaan itu harus kita pegang teguh. Sebab bagi kita (umat Islam) yang penting adalah pengaturannya (al-Hukmu). Sebab konsep dasar Islam tentang masyarkat adalah al-Hukmu (pengaturan) bukan al-Daulatu (negara). Di dalam Al-Quran, kata-kata al-Daulatu (edaran, siklus, kekuasaan, ed.) itu tidak ada. Jadi istilah dalam kenegaraan dalam Al-Quran tidak memakai al-daulatu. Pengertian kenegaraan dalam arti istilah geografi(s) menggunakan istilah “Baldah” (Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur).

Jadi Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang definitif. Buktinya, dalam satu sistem pemerintahan yang paling pokok itu adalah persoalan “suksesi kekuasaan” (penggantian). Ternyata Islam di dalam persoalan suksesi kekuasaan ini tidak tetap. Kadang-kadang memakai konsep “Istikhlaf” (kasus Abu Bakar ra. ke Umar ra.), kadang-kadang juga juga memakai sistem “Bai’at” (umat membai’at Abu Bakar ra.), kadang memakai sistem “Ahlul Halli wal ‘Aqdi” (sistem formatur). Padahal perihal suksesi adalah soal yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan.

Tiga model (Istikhlaf, Bai’at, Ahlul Halli wal Aqdi) ini, terjadi hanya dalam kurun 13 (tiga belas) tahun. Kalau memang Islam ada konsep, tidak akan demikian, apalagi para sahabat itu adalah orang yang paling takut dengan Rasulullah. Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan, yang ada hanya “komunitas agama” (kuntum khaira-ummatin uchrijat linnas). Jadi Khaira Ummatin, bukan Khaira Daulatin atau Khaira Jumhuriyyatin, apalagi Khaira Mamlakatin.

Sebab konsep negara yang definitif seperti yang ada sekarang ini hanya akhir-akhir ini. Yang dikatakan paham Negara Bangsa (Nation State) ya, baru-baru saja. Islam tidak mempunyai konsep yang pasti. Itu tergantung dari cara kita merumuskannya. Tergantung para teoritisi, para politikus Islam, dan karena itu tak perlu direpotkan. Kita memilih Republik Indonesia, ya tidak ada persoalan. Adapun negara lain, ya terserah mereka. Sebab, yang paling penting itu berlakunya hukum Islam di masyarakat, dan itu tergantung upaya kita (buktinya, toh kita berhasil menggolkan RUU Perkawinan?).

Para teoritisi seperti al-Mawardi (Al-Ahkamus Sulthaniiyah), Ibnu Abi Rabi’, Ibnu Khaldun (Muqaddimah), Ibnu Taimiyah telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan ini. Dan ternyata, paham kebangsaan ini pernah digali oleh pikiran cemerlang Ibnu Khaldun.

Beliau berpendapat, bahwa agama saja tidak cukup dapat membentuk negara. Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga diperlukan rasa “Ashabiyyah” (perasaan keterikatan). Tujuannya, membentuk ikatan sosial kemasyarakatan. Ini, adalah paham kebangsaan pertama yang pernah dirumuskan oleh Ibnu Khaldun. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan kebangsaan.

Jadi, pengertian negara modern seperti sekarang ini, mengikuti paham kebangsaan Ibnu Khaldun. Kitabnya (Muqaddimah), dibaca oleh para ulama dan tidak satupun dari mereka ada yang menentang. Ini berarti ada “Ijma’ Sukuti” antar para ulama, terhadap paham kebangsaan Ibnu Khaldun. Hujjatus Tsubut (kepastian argumentasinya) Ijma’ Sukuti ini memang tidak ada. Bisa dikatakan, berarti umat Islam sudah kira-kira enam abad lalu menerima paham kebangsaan.

Kalau kita pelajari kitab Al-Umm karya besar Imam Syafi’i dan ketika beliau menulis pula kitab Ar-Radhi’ah was Siyarus-Syaibani (As-Syaibani adalah guru Imam Syafi’i yang menulis kitab Al-Siyar atau Hubungan Internasional), disini jelas bahwa unsur lokalitas memegang peranan penting dalam karya-karya Imam Syafi’i. Bahkan Imam Syafi’i memang terkenal sebagai seorang mujtahid yang pandai mempertautkan unsur-unsur lokalitas dalam kaitannya dengan dalil-dalil naqli. Paham ini disebut sebagai paham istiqra’ yang menghasilkan kaidah-kaidah hukum seperti al-‘Adatul Muhakkamah atau al-‘Urfu dan lain sebagainya.

Dilihat dari sudut ilmu Ushul Fiqh, Imam Syafi’i secara potensial menerima paham Ibnu Khaldun tentang paham kebangsaan dalam kehidupan bernegara. Kalau sudah begini, maka wawasan kebangsaan berarti bisa menerima Ideologi Nasional. Bagi NU, jalan pikiran ini jelas sekali, urut dan bening akar-akar masalahnya secara teliti menggunakan tradisi Islam sendiri, tidak didoktrin dengan konsep yang mentah dari luar.

Ketika ideologi nasional (Pancasila) telah digunakan sebagai tali pengikat kita semua dalam wawasan kebangsaan, di sini kita dapat melihat kemampuan bangsa Indonesia untuk menyelesaikan secara tuntas masalah ideologi mereka. Karena Pancasila mengandung unsur semua ideologi dunia. Sebab kalau tidak diikat dengan ideologi nasional bangsa kita dikuatirkan nantinya, akan tercebur ke dalam pertentangan antar ideologi dunia yang tidak putus-putusnya.

Jadi NU mempertanggungjawabkan itu semua, tidak hanya dari sudut akal-akalan saja. Ini memang kenyataan dari cara berpikir yang runtut secara falsafi. Dan hal ini sudah dirumuskan oleh Kiai Ahmad Shiddiq.

Sekarang setelah kita menyelesaikan masalah ideologi secara tuntas, kita dapat mengklaim bahwa negara Indonesia ini yang menyelamatkan adalah NU. Sebab secara ideologis, NU lah yang mulai memikirkan dan menyelesaikannya secara tuntas hubungan antara ideologi nasional dan agama. Kita telah mengadakan rekonsiliasi atau titik temu antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi.

Ini juga ditegaskan dalam Anggaran Dasar (AD) NU pada pasal dua tentang asas dan pasal tiga tentang akidah. Di dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, juga dipertegas bahwa sila Ketuhanan bagi NU adalah tauhid.

Sekarang tentu ada tindak lanjutnya, negara ini mau diapakan oleh NU? Dan itu harus diisi wawasan Islami. Sebab itu hak kita, sebagaimana orang lain juga berhak mengisi dengan wawasan mereka; kalau ABRI dengan wawasan kekaryaan; kalau Kriten, wawasan Yesus Kristus.

Ada semacam lomba memang untuk memberi wawasan. Ini tidak ada masalah sebab yang penting pemberian wawasan itu tidak formal ideologi. Dengan kata lain akhlaknya atau landasan etik dari kehidupan bangsa ini, harus kita usahakan agar diwarnai oleh wawasan Islam. Ini menjadi kewajiban kita.

Untuk itu, bagi umat Islam atau NU pada khususnya, harus melakukan sejumlah penentuan atau perumusan kegiatan, dalam hal ini tahapan kegiatan itu ada dua macam.

Pertama, pengembangan fungsi kepemimpinan di dalam NU. Kalau NU organisasi terbesar di Indonesia maka NU harus menciptakan kepemimpinan yang tangguh, yang mampu menjalankan roda organisasi. Kalau semua desa di Indonesia harus mempunyai Ranting NU maka ketua rantingnya saja sudah 68.000 karena desa di Indonesia jumlahnya ya sekian itu.

Di sini tenaga kepemimpinan yang tangguh dan terampil di masa depan harus ciciptakan. Caranya, ya harus dilatih; dipersiapkan tenaga pelatih dan mereka harus dilatih secara berangsur-angsur, sehingga dalam tempo lima belas tahun lagi keseluruhan pimpinan kita, mulai dari Ranting sampai ke PBNU, sudah terdiri dari orang-orang yang tangguh, orang-orang yang mengerti bagaimana ilmu manageman yang sebenarnya. Oleh karena itu kita harus melakukan tekanan kegiatan pada pengembangan tenaga kepemimpinan.

Kedua, pengembangan tenaga penggerak dan pengelola yang mengupayakan perbaikan kualitas hidup masyarakat. Untuk itu, PBNU mencanangkan sepuluh sampai lima belas ribu tenaga yang akan dilatih (tenaga lapangan).

Untuk ini semua, tentu kita harus mampu mengaitkan kepemimpinan dengan konsekuensi ideologi nasional yang kita ambil. Apa yang kita kerjakan baik dalam bidang kepemimpinan maupun dalam pengembangan tenaga lapangan harus dalam konteks kerangka pembangunan nasional.

Kalau begitu maka NU memerlukan suatu kelompok yang menjadi penghubung atau yang melatih agar warga NU mengenal wawasan pembangunan kita, mengetahui detail pembangunan nasional. Karena itu bagian penting yang kita bahas adalah pola hubungan keluar dari warga NU (eksternal leader, al-alaqah al-kharijiah). Dan tidak lain kelompok penghubung tadi, tentunya ya para sarjana. Tujuan hubungan keluar tadi adalah, kita menimba dari kawan-kawan kita kemampuan untuk menggerakkan diri, memperbaiki diri menuju pada tahap pencapaian pelaksanaan yang tuntas.

Dengan demikian, maka tradisi Islam yang telah berabad-abad berkembang, masih tetap kita pertahankan, yaitu: watak penyerapannya yang tinggi terhadap budaya positif yang ada diluar (eklektik). [dutaislam.com/gg]

Keterangan: Tulisan ini diedit dari rekaman pita kaset oleh Masba dan Aw. Terbit pertama kali di Majalah Aula: Risalah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, No. 5 Tahun VII, Mei 1985, (Surabaya: PWNU Jatim Bidang Dakwah), hal 23-32. Diketik ulang oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun, tayang di NU Online (24/12/2017).

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB