Pesan Politis Kemasan Agamis Temu Kangen Alumni Aksi 212
Cari Berita

Advertisement

Pesan Politis Kemasan Agamis Temu Kangen Alumni Aksi 212

Duta Islam #03
Rabu, 29 November 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: Istimewa
Oleh Ayik Heriansyah

DutaIslam.Com - "Jadi jangan percaya-percaya sama orang. Kan bisa saja dalam hati kecil bapak Ibu, gak bisa pilih saya. Ya kan? Dibohongi pakai Surat Al-Maidah ayat 51," ucap Gubernur DKI Jakarta Bapak Basuki Tjahaya Purnama di depan warga Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 lalu menyinggung perasaan umat Islam. 

Karena perkataan ini, mereka melaporkan Ahok, panggilan akrab Gubernur DKI ini, ke Barekrim Mabes Polisi atas tuduhan menistakan agama Islam pada tanggal 6 Oktober tahun lalu.

Di tengah suasana menjelang Pilgub Jakarta, kasus Ahok dinilai sensitive oleh aparat. Melihat gelagat gerak lamban aparat kepolisian dalam menindaklanjuti pengaduan masyarakat, ulama dan tokoh masyarakat berinisiatif melakukan Aksi Bela Islam pada tanggal 4 November 2016. Aksi ini untuk mendorong kepolisian agar segera menangani kasus penistaan agama oleh Ahok yang juga sebagai calon Gubernur pertahana. Dua belas hari pasca Aksi Bela Islam 411, Bareskrim menetapkan Ahok sebagai tersangka dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus ini.

Kadung dijadwalkan dan dipublikasi, Aksi 212 tetap diselenggarakan oleh GNPF MUI walaupun Ahok sudah jadi tersangka. Perjalanan kasus penistaan agama oleh Ahok berjalan alot, maklum banyak pihak yang berkepentingan dengan Ahok terkait Pilgub Jakarta. Pro kontra di tengah masyarakat berlangsung cukup panas apalagi di media sosial. Setelah menjalani masa penyidikan dan persidangan tanggal 9 Mei 1917 Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama divonis hukuman 2 tahun penjara atas kasus dugaan penodaan agama oleh hakim pada persidangan di Kementerian Pertanian kawasan Ragunan.

Menistakan agama perbuatan yang dilarang oleh semua agama. Pelaku penistaan harus dikenakan sangsi agama, hukum dan sosial. Penistaan terhadap agama Islam sudah terjadi ketika Nabi Muhammad Saw tinggal di Madinah. Diri Nabi Saw ketika masih hidup sampai sekarang acapkali jadi sasaran pelecehan orang-orang Kafir. Fakta-fakta pelecehan yang dialami Nabi Muhammad dan agamanya bukan berarti penistaan terhadap Islam bisa  dibenarkan. Yang penting adalah bagaimana mensikapi kasus penodaan agama secara proporsional menurut hukum yang berlaku.

Umat Islam di Indonesia ijma bahwa Ahok telah menistakan agama Islam. Tidak ada ikhtilaf soal itu. Hanya saja, cara menyelesaikannya ada perbedaan. NU, Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya mempercayakan kasus Ahok cukup ditangani pihak berwajib. Biarkan Bareskrim Mabes Polri bekerja untuk menyidik Ahok. Setelah itu serahkan ke pengadilan untuk memberi vonis hukuman. Ormas-ormas Islam ini memandang belum perlu memobilisasi jama’ah turun ke jalan. Tidak ada keadaan genting yang memaksa ormas-ormas Islam demotransi besar-besaran.  Meskipun demikian ormas-ormas Islam tidak melarang jama’ah mereka secara pribadi turut serta di Aksi Bela Islam 212.

Sangat disayangkan sikap dewasa ormas-ormas Islam disalahpahami sebagian orang yang terbawa emosi sesat membela Islam. Apa karena luapan emosi atau karena sempitnya wawasan dan kecilnya ruang hati, ada di kalangan mereka berpikir ikut serta di Aksi Bela Islam 212 jadi bukti  kesetiaan kepada agama. Islam wajib dibela dari penista dengan cara aksi di jalanan. Yang menolak, langsung distempel sebagai pendukung penista agama. Pendukung penista agama otomatis  anti ukhuwah islamiyah dan pemecah belah umat.

Persepsi-persepsi keliru ini masih mengendap sampai sekarang  diarahkan ke NU. Fitnah-fitnah keji yang mengatakan NU, GP Ansor dan Banser sebagai pendukung penista agama makin kencang setelah NU, GP Ansor dan Banser aktif menjaga NKRI dari ancaman radikalisme. Sebagian peserta Aksi Bela Islam 212 yang merasakan dirugikan oleh gerakan NU, GP Ansor dan Banser menciptakan opini-opini negatif yang mendeskriditkan Kiai NU dan pengurus GP. Ansor. Hal ini selain penuh kedustaan juga bertolak belakang dengan semangat bela Islam dan semangat ukhuwah islamiyah yang menjiwai aksi 212.

NU punya caranya sendiri dalam merespon permasalahan umat, bangsa dan negara. NU punya lembaga Bahtsul Masa’il sebagai forum ilmiah untuk mencari solusi-solusi syar’iyah atas problematika umat. Selain itu untuk level nasional NU menyelenggarakan Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU yang menghasilkan rekomendasi-rekomendasi penyelesaian permasalahan bangsa dan negara. Secara personal, Kiai-Kiai NU kadang berkomunikasi langsung menyampaikan saran dan nasehat kepada pengambil kebijakan. Sayangnya tidak semuanya diketahui masyarakat luas. NU memang beda dengan kelompok lain. Turun ke jalan bukan tradisi NU. Kalaupun dilakukan itu sebagai cara terakhir.

Pada kasus Ahok misalnya, ketika Ahok telah ditetapkan sebagai tersangka berarti proses hukum sedang berjalan, kenapa harus demo lagi. Bukankah Bareskrim Mabes Polri sedang bekerja? Tinggal diawasi saja. Bukankah masih banyak agenda umat yang menunggu untuk dikerjakan daripada mendemo kasus yang sedang berjalan prose hukumnya? Tidak elok rasanya kalau semangat tolak penista agama berujung pada perbuatan dusta terhadap sesama muslim. Para Kiai menyimpulkan Aksi 212 sudah kehilangan relevansi dan urgensitasnya.

Keadaan yang sama ketika PA 212 mengadakan Reuni Akbar 212 di Monas. Apa sebenarnya urgensi dan relevansinya bagi umat, bangsa dan negara? Betul, bangsa ini sedang mengalami krisis multidimensi, akumulasi dari krisis-krisis di masa pemerintahan sebelumnya. Siapapun yang jadi Presiden, pasti akan menerima warisan krisis. Pemerintah sendiri tidak menutup mata atas kenyaataan ini. Segala langkah dilakukan agar bangsa Indonesia bisa keluar dari krisis. Langkah-langkap pemerintah dalam koridor konstitusi negara dan konvensi-konvensi internasional. Ada kalangan yang tidak puas, itu lumrah. Wajar sebagian tokoh nasional mengkritisi kebijakan-kebijakan Presiden. Namun baik kebijakan pemerintah maupun ketidakpuasaan sebagian orang, semuanya sangat relatif. Tidak mutlak benar adanya.

Tokoh-tokoh di GNPF Ulama dan PA 212 tergolong pemimpin informal yang kritis terhadap pemerintah. Asprasi politik mereka tidak tersalurkan di lembaga-lembaga politik resmi. Mau men-drive ormas sebesar NU dan Muhammadiyah, rasanya tidak mungkin. Karena itu kegiatan pengerahan massa  Reuni Akbar 212 lebih dari sekedar acara kangen-kangenan, tapi untuk menunjukkan sikap protes lunak atas pengeloaan negara oleh pemerintah. Acara reuni akbar juga untuk menyampaikan pesan kepada ormas-ormas Islam yang sudah mapan, bahwa ada gerakan umat di luar mereka. Sekaligus untuk menyatakan kepada masyarakat luas, bahwa PA 212 jadi gerakan Islam alternatif di masa depan. Jadi sebenarnya Reuni Akbar 212 membawa pesan politis dengan kemasan agamis. [dutaislam.com/pin]  

Penulis, jamaah Sabtuan NU Kota Bandung. Pegiat di Institute for Democracy Education. Mantan Ketua HTI Babel 2004-2010

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB