Foto: Istimewa |
Pada suatu hari di sebuah daerah di kota Mataram dibangun sebuah masjid besar. Biayanya ditanggung empat pengusaha besar kota itu. Dia H. Ibrahim, H. Musa, H. Salam dan H Yahya. Mereka sebenarnya bukan muslim yang taat. Bahkan predikat haji baru saja mereka peroleh.
Ketika mesjid sudah jadi, segera diresmikan. Tidak lupa keempat nama dermawan tadi disebut-sebut jasanya, baik oleh pak kiai sebagai pengelola masjid maupun oleh Bupati sebagai kepala daerah.
Setelah upacara peresmian selesai dengan dibacakan doa dan bacaan selawat yang selalu dialunkan sepanjang upacara. Terakhir, diselenggarakan sembahyang isyak untuk pertama kalinya.
Dalam sembahyang Isyak itu, kiai membaca surat Al Quran yang agak panjang. Surat Al A’la yang diujung ayat yang dibaca kiai berbunyi: shuhufi Ibrahima wa Musa. Mendengar bacan itu Yahya yang tak tahu arti ayat itu heran.
“Kok nama penyumbang lain H Ibrahim dan H. Musa disebut. Padahal saya juga penyumbang besar masak namaku dan H Salam tidak dilaporkan sang imam pada Tuhan dalam salatnya,”
Tiba-tiba terdengar suara makmum serentak menyahut, “alaihis salaam”.
“Lho H Salam giliran disebut, sementara saya tidak. Kalau begini caranya amal saya bisa tidak diketahui oleh Tuhan. Bahaya ini!” guma Yahya dalam hati.
Dia lantas buru-buru nenambahkan dengan bersuara keras: “Juga Yahyaa…..” teriaknya.
Para jamaah keheranan karena ada orang berani bicara dalam sembahyang. Tetapi mereka diam. Sementara jamaah yang ada didekatnya tidak bisa menahan diri: tertawa cekikikan. Akhirnya mundur membatalkan sembahyang. Ia tidak tahan melihat kedunguuan H Yahya.
Baru setelah shalat selesai jamaah heboh. Sang imam pun menjelaskan bunyi surat Tasbih yang dibacakan saat shalat. ”Memang begitu. Sama sekali bukan untuk melupakan jasa Pak Yahnya,”kata Imam.
“Ooo begitu to maksudnya, habis saya khawatir amal saya tidak diterima Allah” jawabnya sambil tersipu-sipu.
Ini hanya humor. Jangan dikira sungguhan. Hehe. [dutaislam.com/MDZ/pin]