Santri Lelana: Perjalanan Pencarian Ilmu Kiai Sholeh Darat (Bagian 2 Selesai)
Cari Berita

Advertisement

Santri Lelana: Perjalanan Pencarian Ilmu Kiai Sholeh Darat (Bagian 2 Selesai)

Duta Islam #02
Jumat, 15 September 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto yang selama ini diyakini sebagai gambar wajah KH Sholeh Darat as-Samarani (NU Online).
Oleh Nur Ahmad

DutaIslam.Com - Pengembaraan dan pengabdian Kiai Sholeh adalah di Semarang di mana Sholeh muda telah menuntut ilmu sebelum periode Mekkah dan selanjutnya melatih para santri hingga akhir hayatnya. Di Semarang, melalui pengajaran dari Kiai Ishak Damaran, Sholeh muda mempelajari ilmu naḥw (gramatika Bahasa Arab) and ṣarf (morfologi) (Sholeh as-Samarani, al-Murshid al-Wajīz, 118).

Baca sebelumnya: Santri Lelana: Perjalanan Pencarian Ilmu Kiai Sholeh Darat (Bagian 1)

Sangat mungkin kitab yang diajarkan dalam kedua bidang ini adalah untuk santri tingkat tinggi. Juga memungkinkan bahwa tujuan dari pelajaran ini bukanlah semata-mata memeroleh pendidikan, namun lebih penting lagi adalah memeroleh berkah (Jawa barokah, atau berkat), suatu yang jamak diprakttekkan dalam tradisi pesantren. Masih di Semarang, Sholeh muda juga mempelajari astronomi (ilmu falak) kepada mufti Semarang, Kiai Abdullah Muhammad al-Hadi Ba‘ūnī (Sholeh as-Samarani, al-Murshid al-Wajīz, 119).

Setelah periode pengembaraan ke Mekkah dan pengembangan pesantrennya sendiri di Semarang, Kiai Sholeh terus menjadi pembelajar seumur hidup. Sebagai contoh, dari kunjungan yang relatif singkat dari Syaikh Abdul Ghani Bima ke Semarang, Kiai Sholeh, ketika itu telah sepuh dan menjadi kiai yang dihormati di tanah Jawa, belajar kitab Masā‛il al-Sittīn karya Abu al-‘Abbās Aḥmad al-Miṣrī (w. 818/1415) (Bruinessen, “Kitab Kuning,” 249), yaitu kitab di bidang akidah yang sangat populer di masa itu (Sholeh as-Samarani, al-Murshid Al-Wajīz, 118-120). Mengikuti model yang nyaris sama, Kiai Sholeh juga belajar Jawharah al-Tawḥīd karya dari Ibrāhīm al-Laqqānī (w.1041/1631) dan Minhāj al-‘Ābidīn-nya Imam al-Ghazzālī kepada Syaikh Ahmad Bafaqih Ba’alawi (Sholeh as-Samarani, al-Murshid al-Wajīz, 120).

Perjalanan melalui jalur laut ke Mekkah ketika itu mengharuskan Kiai Sholeh singgah ke Singapura yang telah menjadi bandar paling penting bagi jamaah ziarah ke Mekkah. Ini dikarenakan pemerintahan Inggris Raya di Singapura mengeluarkan aturan yang lentur bagi muslim yang hendak haji, berkebalikan dengan pemerintahan colonial Belanda yang berusaha meminimalisasi akses jamaah haji, paling tidak sejak 1825 hingga 1902 (Burhanudin, Ulama & Kekuasaan, 107).

Usaha dari pemerintahan Kolonial Belanda sedikit saja pengaruhnya, untuk tidak menyebut tidak berhasil sama sekali. Sebagai ilustrasi, sejak 1850 hingga 1858, terjadi peningkatan teratur jumlah jamaah haji dari daerah-daerah penutur Bahasa Jawa dari 48 hingga 2283 (Ricklefs, The Middle East Connection, 111-134).

Catatan tersebut menyebutkan bahwa hanya 50% dari jamaah haji tersebut kembali ke Indonesia. Itu artinya separuh yang lainnya tidak melaporkan diri kembali ke Indonesia, sangat mungkin sebagian mereka menetap lebih lama di Mekkah. Jama’ah haji yang menetap inilah yang membentuk Komunitas Jawi di Mekkah dengan tujuan menempuh pendidikan tingkat tinggi di bidang kajian Islam (Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, 291).

Meskipun kunjungan Kiai Sholeh Singapura sebagai bandar transit sebelum ke Mekkah relatif singkat, kunjungan ini adalah yang paling penting baginya dilihat dari konteks percetakan dan penyebaaran karya-karyanya. Pada abada ke Sembilan belas, Singapura adalah pusat percetakan muslim di seluruh Asia Tenggara (Proudfoot, Early Malay Printed Books, 25). Pada kunjungan ini, tradisi oral menyebutkan bahwa Kiai Sholeh sempat memberikan pengajaran kepada komunitas Muslim Jawa di Singapura (Muchoyyar, K.H. Muhammad Shaleh Al-Samarani, 106).

Sangat menarik untuk menyatakan bahwa  melalui pertemuan-pertemuan ilmiah inilah Kiai Sholeh membentuk jejaring pertemenan dengan pemilik percetakan Muslim di sana, yang mana sebagian dari mereka berasal dari tempat asal Kiai Sholeh, yaitu Pati dan Semarang (Proudfoot, A nineteenth-century Malay bookseller's catalogue, 1-11). Dari jalur ini maka dinyatakan bahwa ketika Kiai Sholeh menulis karya-karyanya di Semarang, jejaring inilah yang memungkinkan karya-karya pegon tersbut dicetak dan disebarkan melalui percetakan-percetakan di Singapura (Umam, Localizing Islamic Orthodoxy, 120).

Menyangkut pendidikan tingkat tinggi yang ditempuh Kiai Sholeh, Mekkah sejak dahulu hingga sekarang terlepas dari ideologi pemerintahannya adalah pusat pendidikan Islam bagi. Bersama dengan ayahnya, pada sekitar tahun 1835 Sholeh muda menuju ke Kota Suci dengan tujuan berhaji dan memeroleh pendidikan (Ghazali Munir, Warisan Intelektual Islam Jawa, 44).

Tidak diketahui masa yang Kiai Sholeh curahkan untuk belajar di Kota Suci. Betapapun, masa beliau bermukim tidak melewati tahun 1870, karena beliau telah menyelesaikan syarah atas al-Ḥikam pada 1871 di Pesantren Darat, Semarang.  Lebih dari itu, pada 1870-an, menurut pengakuan Kiai Mahfudz Tremas (Maḥfūz b. ‘Abdullāh at-Tarmasī, w. 1919), beliau diantarkan oleh ayahandanya yang mengirimkannya ke Pesantren Darat, Semarang, untuk belajar kepada Kiai Sholeh (Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara, 160).

Di Mekkah, Kiai Sholeh belajar kepada banyak syaikh. Pada umumnya mereka dikenal sebagai guru bagi Komunitas Jawa yang mengajar di sekitar rumahnya atau di lingkungan Masjid al-Ḥarām. Snouck menyebutkan banyak dari mereka yang masih aktif sebagai pendidik ketika dia bermukim di Mekkah pada tahun 1884-1885 (Hurgronje, Mekka). Salah satu guru yang paling utama adalah Syaikh Aḥmad bin Zaynī Daḥlān (w. 1886) dari siapa Kiai Sholeh belajar Iḥyāʼ ʻUlūm al-Dīn Ghazzālī. Beliau bahkan menerima ijāzah dari syaikh yang biasanya disebut di tradisi pesantren sebagai Syaikh Aḥmad Zaynī Daḥlān. Kiai Sholeh menyebutkan matarantai keilmuan, bahwa gurunya memeroleh ijāzah dari Syaikh ‘Uthmān b. Ḥasan al-Dimyāṭī dari Syaikh ‘Abdullāh al-Sharqāwī (d. 1227/1812), dan selanjutnya terus bersambung hingga ke Imam al-Ghazzālī.

Syaikh Aḥmad bin Zaynī Daḥlān sangat penting bagi Komunitas Jawi bukan hanya sebagai pendidik, dialah satu-satunya orang Indonesia yang ketika Snouck bermukim di sana diizinkan untuk mengajar di Masjid al-Harām, namun juga bahwa sebagai Mufti madzhab Syafi’i di Mekkah (Bruinessen, Muhammad Zayn al-Din al-Sumbawi, 33). Syaikh  Aḥmad telah melatih banyak sekali murid dari nusantara yang pada abad yang lalu telah memainkan peran utama mentransmisikan diskursus Islam di Indonesia (Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, 133). Sebagai Mufti, beliau bahkan mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan kondisi social dan  politik di Hindia-Belanda (Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, 133).

Memang benar bahwa Kiai Sholeh telah mendirikan pesantren dan benulis karya-larya pegpnnya di Semarang; Namun hal itu tidak berarti bahwa beliau berhenti untuk belajar. Hingga akhir hayatnya, Kiai Sholeh selalu menjadi santri (pembelajar), suatu ajaran yang dia pegang kukuh sejak awal pendidikannya mengatakan:

"Ingatlah enam prasyarat berikut agar sukses dalam belajar! Saya akan menjelaskannya padamu. Yaitu, kecerdasan, antusiasme, kegigihan, biaya, petunjuk dari guru, dan waktu yang lama. (Kitāb Naẓām Alālā)." [dutaislam.com/gg]

Nur Ahmad,
Wakil Sekretaris PCINU Belanda
Mahasiswa Master di Vrije University Amsterdam
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB