Kiai Sahal, Pesantren, dan Kebangsaan
Cari Berita

Advertisement

Kiai Sahal, Pesantren, dan Kebangsaan

Kamis, 14 September 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Jamal Ma’mur Asmani

DutaIslam.Com - Seluruh anak bangsa seyogianya termotivasi untuk mengikuti dan mengembangkan jejak langkah perjuangan Kiai Sahal yang berhasil mengukir tinta emas dalam sejarah kehidupan umat dan bangsa.

Salah satu tokoh pesantren yang sangat besar pengaruhnya dalam mendinamisir paradigma keilmuan pesantren dan pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah KH. MA. Sahal Mahfudh. Sebagai seorang yang lahir, tumbuh, dan berkembang di pesantren, Kiai Sahal adalah sosok pembaharu pesantren yang berjuang menjadikan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mampu menghasilkan kader-kader terbaik bangsa yang mampu mengubah keterbelakangan menjadi keunggulan.

Kiai Sahal tidak menerima jika pesantren dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional yang ortodoks, stagnan, dan tidak kompatibel dengan tantangan kekinian. Untuk mengubah stigma negatif tersebut, Kiai Sahal memosisikan diri sebagai lokomotif pembaharuan pesantren.

Ada beberapa langkah yang dilakukan Kiai Sahal untuk mendinamisir pesantren. Pertama, menjadikan kitab kuning yang menjadi referensi utama keilmuan pesantren sebagai solusi persoalan sosial. Hal ini dilakukan Kiai Sahal dalam forum bahtsul masail. Ketika kembali dari Pesantren Bendo Kediri asuhan KH. Muhajir dan Pesantren Sarang asuhan KH. Zubair Dahlan, Kiai Sahal menghidupkan kembali tradisi bahtsul masail di kecamatan Margoyoso dalam wadah Raudlatul Musyawarah.

Forum bahtsul masail tersebut dijadikan forum untuk mendiskusikan persoalan-persoalan sosial dalam perspektif kitab kuning. Kiai Sahal mendorong bahtsul masail tidak hanya memutuskan status hukum persoalan sosial secara hitam putih, halal atau haram, tapi juga memberikan solusi sebagai konsekwensi logis dari keputusan yang diambil. Jika diputuskan haram, maka bagaimana solusinya bagi yang melakukan dan jika diputuskan halal maka bagaimana melakukannya. Keputusan yang diambil tidak sekadar keputusan tanpa aplikasi di lapangan.

Kedua, pesantren dijadikan sebagai poros gerakan transformasi sosial secara sistematis, gradual, akuntabel, dan professional. Kiai Sahal membentuk BPPM (Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) untuk melakukan identifikasi problem-problem sosial secara komprehensif, merancang program kerja yang strategis dan efektif, dan merumuskan langkah-langkah taktis aplikatif. Kiai Sahal membentuk struktur organisasi BPPM yang terdiri dari kaum professional dengan manajemen modern. Struktur tersebut langsung terjun di masyarakat untuk membentuk TPM (Tim Penggerak Masyarakat) yang bertugas membentuk komunitas-komunitas kecil dalam masyarakat.

Komunitas-komunitas inilah yang dibimbing dan dilatih secara intensif tentang pentingnya kemandirian ekonomi, kewirausahaan, manajemen finansial, teknologi, dan masa depan yang harus diperjuangkan, baik masa depan dunia maupun akhirat. Menurut Kiai Sahal, tugas manusia di muka bumi ada dua, yaitu ibadatullah (menyembah Allah) dan imaratul ardli (meramaikan bumi).

Keduanya tidak bisa dipisahkan karena tugas manusia ada dua, yaitu sebagai abdullah (hamba Allah) yang selalu patuh dan taat kepada Allah dan sebagai khalifatullah (mandataris Allah) yang bertugas menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan sosial. Sebagai abdullah, manusia harus mempunyai orientasi spiritual dalam segala sepak terjangnya, sehingga ada dimensi keikhlasan yang terpancar dalam hati. Sebagai khalifatullah, manusia membutuhkan banyak kompetensi untuk menegakkan keadilan sosial dan menumpas korupsi, kolusi, dan manipulasi.

Ketiga, Kiai Sahal mengembangkan paradigma berpikir pesantren yang biasanya berkutat kepada teks-teks fikih ansich menuju pemahaman yang berorientasi kepada maqasidus syariah, yaitu tujuan-tujuan aplikasi syariat, menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga akal, dan menjaga keturunan. Maqasidus syariah yang jumlahnya lima ini menjadi parameter teks-teks fikih dalam merespons dinamika zaman. Dengan teori maqasidus syariah ini, fikih mampu mewujudkan kemaslahatan substansial (maslahah muhaqqaqah), yaitu mendatangkan kemanfaatan dan menolak kerusakan (jalb al-manafi’ wa dar’u al-mafasid) bagi kehidupan manusia.

Paradigma berpikir yang baru ini kemudian dikenal dengan nama fikih sosial. Fikih sosial mempunyai lima ciri utama, yaitu memahami teks-teks fikih secara kontekstual, beralih dari madzhab qauli ke madzhab manhaji, verifikasi mana ajaran yang ushul (fundamental) dan mana ajaran yang furu’ (instrumental), menjadikan fikih sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara, dan mengenalkan pemikiran filosofis, khususnya dalam masalah sosial budaya.

Kiai Sahal mampu menggerakkan tiga langkah di atas karena kapasitas pribadinya yang luar biasa. Di samping anak dan cucu kiai besar (ayah: KH. Mahfudh Salam, kakek: KH. Abdussalam) yang mempunyai garis keturunan sampai kepada Syekh Ahmad Mutamakkin yang menjadi pioner dakwah Islam di Kajen dan sekitarnya, Kiai Sahal juga mempunyai kapasitas personal yang komplit.

Kiai Sahal adalah pakar fikih dan ushul fikih, bahkan kepakarannya di bidang ushul fikih diakui oleh ulama dunia lewat dua karyanya, yaitu Thariqatul Husul yang menjelaskan kitab Lubbul Ushul dan kitab al-Bayanul Mulamma’ yang menjelaskan kitab Al-Luma’. Lebih dari itu, Kiai Sahal adalah sosok organisator ulung yang mempunyai skills kepemimpinan dan manajemen handal. Kemampuan komunikasi dan membangun relasi dari bawah sampai atas yang dilakukan dengan sabar dan gigih menempatkan Kiai Sahal dalam posisi terhormat dan akhirnya mendapat kepercayaan besar sebagai pucuk pimpinan dua organisasi besar, yaitu NU dan MUI.

Setelah Kiai Sahal menyelesaikan visi dan misinya memberdayakan pesantren, Kiai Sahal kemudian melangkahkan kakinya ke medan perjuangan yang lebih besar, yaitu NU, organisasi sosial keagamaan terbesar dunia dengan jumlah pengikut sekitar 85 juta, dan MUI yang pengurusnya tersebar di seluruh nusantara.

Dalam medan perjuangan yang lebih luas ini, Kiai Sahal menampakkan pemikiran progresif dan aksi-aksi sosial yang dinamis dan kontekstual. Kiai Sahal mendukung program KB (Keluarga Berencana) yang dimotori oleh Prof. Dr. Haryono Suyono. Selain itu, Kiai Sahal juga mendorong kerukunan antar sesama umat Islam dan antar sesama umat beragama. Kerukunan menjadi modal penting menjaga persatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Primordialisme dan sektarianisme harus dibuang karena membuat seseorang menjadi eksklusif, subyektif, dan fanatik sehingga sulit menerima masukan dan pandangan dari kelompok lain. Peran besar Kiai Sahal, baik baik di ranah pengembangan pesantren maupun dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sumber inspirasi dan motivasi anak bangsa untuk meneladani dan mengembangkannya di masa-masa yang akan datang. [dutaislam.com/gg]

Jamal Ma’mur Asmani,
Penulis Buku Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh, Ketua Prodi Manajemenn Zakat Wakaf Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Pati.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB