Tafsir Salah Kaprah Pejuang Khilafah
Cari Berita

Advertisement

Tafsir Salah Kaprah Pejuang Khilafah

Senin, 14 Agustus 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: geotimes.co.id 
Oleh Ayik Heriansyah 

DutaIslam.Com - Acapkali al-Qur'an jadi alasan untuk melegitimasi ambisi politik suatu kaum. Sejatinya al-Qur'an membimbing aktivitas setiap muslim, termasuk yang terjun di dunia politik.

Politisasi al-Qur'an dan ayatnya bukan barang baru. Ketika perang Shiffin antara Khalifah Ali dan Muawiyah Gubernur Syam, pasukan Muawiyah terdesak dan hampir kalah. Untuk menunda kekalahan, Amru bin Ash komandan pasukan Muawiyah melakukan manuver mengacungkan mushaf al-Qur'an. 

Al-Qur'an simbol persatuan umat. Dengan mengacungkan al-Qur'an, Amru bin 'Ash mengajak Khalifah Ali berdamai. Setidaknya menghentikan serangan. Sebenarnya Khalifah Ali paham itu hanya manuver di medan perang, tapi atas desakan sebagian anggota pasukannya,  Khalifah Ali menerima ajakan damai dari Amru bin Ash.

Pada kasus kaum Khawarij, ayat al-Qur'an jadi dasar gerakan politik untuk memberontak. Hanya sepotong ayat dari surat Yusuf: 40 yang berbunyi:

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّه.


Dengan sepotong ayat itu kaum Khawarij merasa benar atas perilaku kejam mereka terhadap umat Islam. Benih perilaku politik menyimpang kaum Khawarij sudah muncul pertengahan masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan. Ditengarai merekalah kelompok politik dibalik pembunuhan Khalifah Usman. Lalu menyusup ke pihak Ali untuk mengaburkan jejak. Pada akhirnya mereka juga yang menikam Ali secara politik dan fisik.

Setelah itu sejarah politik umat tidak pernah sepi dari politisasi al-Qur'an, ayat dan maknanya. Politisi sudah sangat mafhum kalau aktivitas politik tergantung tingkat kepercayaan publik. Sejatinya kekuasaan politik merupakan formalisasi dari kepercayaan umat sebagai pemilik kekuasaan yang sebenarnya. Keberhasilan gerakan politik tergantung pada kepercayaan masyarakat. Di sinilah politisasi al-Qur'an jadi bagian tak terpisah sepanjang sejarah politik umat, terlepas apa hukumnya.

Gerakan politik untuk Islam kontemporer seperti HTI juga menjadikan al-Qur'an, ayat dan maknanya untuk melegitimasi gerakan mereka dalam mendirikan Khilafah. Dari enam ribu ayat lebih, ternyata potongan ayat 48-49 surat al-Maidah dijadikan "dalil" untuk mendirikan Khilafah. Potongan ayat yang berbunyi:

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ 


وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْك


Terjemahan potongan ayat 48-49 surat al-Maidah ialah:
"Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (TQS al-Maidah [5]:48). 

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. (TQS al-Maidah:49).

Di kitab resmi HT yang berjudul Ajhizah ad-Dawlah Khilafah (Struktur Negara Khilafah), HT mengistinbath hukum wajibnya Khilafah dari potongan dua ayat tersebut. 

Seruan Allah SWT kepada Rasul saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan juga merupakan seruan bagi umat Beliau. Mafhûm-nya adalah hendaknya kaum Muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan. 

Perintah dalam seruan ini bersifat tegas karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah saw. adalah Khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah. Apalagi penegakan hukum-hukum hudûd dan seluruh ketentuan hukum syariah adalah wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa/hakim, sedangkan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. 

Artinya, mewujudkan penguasa yang menegakkan syariah hukumnya adalah wajib. Dalam hal ini, 
penguasa yang dimaksud adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah. (Ajhizah ad-Daulah Khilafah (Struktur Negara Khilafah), HTI Press, cetakan 3, 2008, hal. 14-15).

Pada makalahnya yang berjudul "Kritik Terhadap Buku Hizbut Tahrir Gagal Paham Khilafah Karya Makmun Rasyid", Ust. Shiddiq al-Jawi (DPP HTI) memperjelas proses istinbath HT sebagai berikut: Terdapat kaidah ushuliyah dalam kitab karya Imam Taqiyuddin An-Nabhani (pendiri HT) yang berjudul Al-Syakshiyyah Al-Islamiyyah pada Juz III hlm. 245, pada bab Al-‘Umum wa Al-Khushush, yang berbunyi Khithab al-rasul khithabun li ummatihi maa lam yarid daliilun yukhashshishuhu bihi (khithab yakni perintah atau larangan dari Allah kepada Rasul-Nya, adalah khithab juga untuk umatnya, selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkan khithab tersebut untuk Rasul SAW).

Kaidah ushuliyah inilah yang digunakan HT untuk memahami QS : 48-49. Maka kata fahkum pada ayat ini, yang berarti “maka berilah keputusan hukum” [dengan apa yang diturunkan Allah] yang awalnya tertuju kepada Rasul SAW sebagai mukhathab (yang diajak bicara), berlaku juga secara umum untuk umat Islam sepeninggal Rasul SAW. Maka setelah Rasul SAW meninggal, perintah fahkum tersebut terus berlanjut dan diteruskan oleh umat Islam, khususnya oleh para Khalifah sesudah Rasul SAW. 

Mengapa khalifah? Sebab awalnya ayat tersebut tertuju kepada Rasul SAW dalam kedudukan beliau sebagai penguasa (Al-Hakim), maksudnya bukan dalam kedudukan beliau sebagai Nabi. Maka sepeninggal Rasul SAW, ayat tersebut tetap berlaku dan pengamalannya dilanjutkan oleh para Khalifah. Dan pengamalan ayat tadi (fahkum) tidak akan sempurna kecuali dalam sistem Khilafah yang dipimpin Khalifah, maka keberadaan Khilafah menjadi wajib, sesuai kaidah maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib (jika suatu kewajiban tak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya).

Mafhum HT  atas potongan ayat 48-49 surat al-Maidah dapat diringkas sebagai berikut: 1. Menetapkan Rasul saw berperan sebagai al-hakim (penguasa). 2. Para Khalifah penerus status al-hakim Nabi saw. 3. Sistem pemerintahan yang dipimpin para Khalifah disebut Khilafah. 4. Mengangkat Khalifah hukumnya wajib. 5. Mendirikan sistem Khilafah tempat Khalifah memimpin jadi wajib. Shahihkan pemahaman HTI ini? Apa benar khithab Allah swt dalam ayat 48-49 surat al-Maidah kepada Muhammad saw sebagai al-hakim? Apa topik utamanya, isi khithab ataukah mukhathab?

Asbabun Nuzul
Ketika membahas makna al-Qur'an, asbabun nuzul harus disertakan untuk mengetahui konteks ruang, waktu dan realitas sosial politik suatu ayat. Menurut  Quraish Shihab tentang Asbāb al- Nuzūl adalah segala sesuatu yang menjadi sebab turunnya ayat,  untuk mengomentari, menjawab pertanyaan,
atau menerangkan suatu hukum. Asbabun nuzul terdiri dari peristiwa, pelaku dan waktu kejadian.

Ulama mufassirin sepakat akan pentingnya asbabun nuzul untuk memahami maksud ayat, ibrah atau dalam rangka istinbath hukum. Imam Jalaluddin al- Suyuti di kitab Al- Itqan fi Ulum al- Qur’an mengatakan bahwa mengetahui sebab turunnya ayat akan membantu dalam memahami ayat, dengan mengetahui sebab akan mengetahui akibat. Pendapat senada juga dikemukan oleh Syaikh Manna’ al- Khalil al Qattan dalam Studi Ilmu-Ilmu al- Qur’an.

Surat al-Maidah terdiri dari 120 ayat, 25 ayat yang memiliki asbabun nuzul. Surat ini termasuk surat Madaniyah, surat yang turun ketika Nabi Muhammad saw di Madinah pasca hijrah.

Sesampai di Madinah, di tahun pertama hijriah, Nabi Muhammad saw langsung menata masyarakat, membangun masjid, melakukan konsolidasi sesama umat Islam antara kaum Muhajirin dan Anshar serta menjalin hubungan baik dengan kaum Yahudi, kaum non Islam yang telah lama menghuni Madinah dan sekitarnya. Ada 4 Bani Yahudi di Madinah, di dalam kota, ada satu Bani Yahudi yaitu Bani Qainuqa. Tiga Bani Yahudi lainnya di luar kota, terdiri dari Bani Nadhir, Quraizhah, Khaibar. 

Kepada kaum Yahudi Rasulullah saw membuat perjanjian antara umat Islam dengan Yahudi yang terkenal dengan nama Piagam Madinah. Piagam Madinah jadi konstitusi bagi semua warga negara dengan Muhammad saw sebagai kepala negaranya. Dengan menyetujui piagam Madinah, kaum Yahudi mengakui kepemimpinan politik (al-hakim) Muhammad saw walaupun menolak mengimani Beliau saw sebagai Nabi dan Rasul Allah.

Beginilah situasi dan kondisi  Muhammad saw saat berinteraksi dengan kaum Yahudi. Asbabun nuzul ayat 49 surat al-Maidah:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ

Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah (QS. Al-Maidah: 49) turun berkenaan dengan sekelompok orang Yahudi. Ibnu Abbas berkata: "Kaab bin Usaid, Abdullah bin Shuriah dan Syimas bin Qais berkata, 'mari kita pergi menemui Muhammad untuk kita uji tentang agamanya.' Mereka mendatangi Nabi saw lalu berkata, 'wahai Muhammad, seperti yang engkau ketahui kami adalah pendeta  Yahudi, orang yang terhormat dan pemimpin. Bila kami mengikutimu, niscaya orang-orang Yahudi mengikuti kami dan tidak menentang kami. Karena itu, kami ingin engkau memutuskan perkara kami. Putuskanlah hukum yang berguna bagi kami dan memberatkan bagi mereka, kami akan beriman kepadamu.'

Nabi saw enggan melakukannya, kemudian Allah swt menurunkan ayat berkenaan dengan mereka, ...Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah (QS. Al-Maidah: 49). (Syaikh Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Wasith,  terj GIP: 2012, jilid I, hal. 409; A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, Rajawali Press: 2002, cet I, hal. 323).

Dialog pemuka Yahudi kepada Muhammad saw, secara tersurat dan tersirat, mereka mau menguji Muhammad saw dalam kapasitasnya sebagai Nabi dan Rasul Allah. Mereka mengemukakan  syarat untuk beriman. Jika konteks keimanan, tentu saja terkait dengan kedudukan Muhammad saw sebagai Nabi. Adapun peran Muhammad saw sebagai al-hakim, tidak dipermasalahkan oleh pemuka Yahudi itu, karena mereka sudah mengakuinya dengan menerima piagam Madinah.

Nabi saw Sebagai Mukhathab
Dengan demikian ayat 48-49 surat al-Maidah berupa khithab kepada Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul Allah bukan sebagai al-hakim (penguasa) sebagaimana yang dipahami oleh HT. Meskipun Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul yang jadi mukhathab ibrah dua ayat itu tetap bisa dipetik oleh umatnya.

Lalu bagaimana menerapkan kaidah al ‘ibrah bi ‘umuumil lafzhy laa bi khushuushis sabab (pelajaran atau hukum dari diambil dari redaksi teksnya yang bersifat umum, bukan dari sebab turunnya yang bersifat khusus) dan kaidah yang berbunyi khithab al-rasul khithabun li ummatihi maa lam yarid daliilun yukhashshishuhu bihi (khithab yakni perintah atau larangan dari Allah kepada Rasul-Nya, adalah khithab juga untuk umatnya, selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkan khithab tersebut untuk Rasul SAW).

Ayat 48-49 surat al-Maidah merupakan khithab kepada Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul Allah seperti yang dipahami oleh mufassirin. Isi khithab berupa perintah menegakkan hukum Allah swt itulah topik dari kedua ayat tersebut.  Demikian yang kita temui dalam kitab tafsir. Tafsir radikal sekaliber Fi Zhilalil Qur'an karya Sayyid Quthub menempatkan isi khithab menjadi pokok bahasan. Sama dengan tafsir ulama moderat Syaikh Wahbah Zuhaili yang berjudul tafsir al-Wasith. Prof. Quraisy Shihab di tafsir al-Misbah juga tidak jauh beda. Hanya tafsir HT yang syadz (janggal).

Lalu bagaimana menerapkan kaidah tafsir jika Muhammad saw yang jadi mukhathab pada posisi sebagai Nabi dan Rasul. Apakah dua ayat ini bisa diamalkan oleh umatnya? Ibrah ayat 48-49 pasti tetap bisa diambil oleh umat Islam sebab berdasarkan kaidah al ‘ibrah bi ‘umuumil lafzhy laa bi khushuushis sabab (pelajaran dari suatu ayat Al-Quran diambil dari redaksi teksnya yang bersifat umum, bukan dari sebab turunnya yang bersifat khusus).

Perintah agar Nabi Muhammad saw menghukumi dan berpegang teguh kepada hukum yang diturunkan Allah swt juga berlaku bagi umatnya secara umum tanpa memandang status dan peran. Asal mukallaf, bisa mengamalkan dua ayat ini. Pria, wanita, rakyat, penguasa, pedagang, ibu rumah tangga, sopir, guru, pegawai, imam masjid, tukang sapu, dll wajib menegakkan hukum Allah swt yakni syariah Islam diperinci oleh fiqih Islam.

Penegakan hukum Allah swt menurut status dan peran masing-masing. Kaidah yang berbunyi khithab al-rasul khithabun li ummatihi maa lam yarid daliilun yukhashshishuhu bihi (khithab yakni perintah atau larangan dari Allah kepada Rasul-Nya, adalah khithab juga untuk umatnya, selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkan khithab tersebut untuk Rasul SAW) bisa diterapkan.

HT salah tafsir dan salah mafhum ketika menetapkan al-hakim sebagai mukhathab dari ayat 48-49 surat al-Maidah sebab tidak ada qarinah yang menunjukkan makna spesifik mukhathab yakni al-hakim akibatnya HT salah mengistinbath hukum. Menetapkan al-hakim (penguasa) sebagai mukhathab dari ayat 48-49 surat al-Maidah menyalahi fakta tidak ada Khalifah dan Khilafah ketika ayat itu turun, yang ada Nabi dan Rasul dalam sistem pemerintahan nubuwah. Peran kepemimpinan tertinggi politik Muhammad saw melekat dengan status kenabian dan kerasulannya. Ini khusus untuk Muhammad saw tidak berlaku bagi umatnya.

Menetapkan al-hakim sebagai mukhathab menjadikan ibrah ayat ini terbatas, tidak berlaku umum. Selain penguasa, tidak wajib mengamalkan ayat 48-49 surat al-Maidah ini. Mafhum HT sesat, menyalahi asbabun nuzul, kaidah tafsir dan akal sehat sekaligus.

Akhirnya istinbath hukum HT dari al-Qur'an surat al-Maidah: 48-49 terbukti salah. Otomatis gugur untuk dijadikan dalil yang mewajibkan mengangkat Khalifah secara  spesifik dalam sistem Khilafah. [dutaislam.com/gg]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB