Bolehkah Menghidangkan Daging Kurban Kepada Non Muslim?
Cari Berita

Advertisement

Bolehkah Menghidangkan Daging Kurban Kepada Non Muslim?

Duta Islam #02
Rabu, 30 Agustus 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Achmad Faiz Sahly dan Ahmad Muntaha AM

DutaIslam.Com - Tak disangsikan, Hari Raya Idul Adha mendatang kegembiraan bukan saja bagi kaum muslimin, tapi juga bagi umat lainnya yang kebetulan tinggal berdampingan dengannya, seperti di Indonesia.

Namun demikian, kurban sebagai ibadah telah lengkap aturan serta tata cara pelaksanaannya, sehingga selayaknya diperhatikan, terlebih bagi muslim yang hendak berkurban.

Dalam kehidupan bermasyarakat majemuk, seringkali kita harus jeli dalam memahami hukum dari suatu amaliah sekaligus bijak dalam menerapkannya. Salah satunya terkait memberikan daging kurban kepada non muslim. Memang boleh?

Menghidangkan Daging Kurban Kepada Non Muslim
Merujuk penuturan Ibn al-Mundzir (242-319 H/856-931 M), pakar hadits dan fikih senior kota Makkah pada masanya, sebagaimana dikutip Imam an-Nawawi (631-676 H/1233-1277 M) pakar fikih dan hadits kota Halab/Aleppo Syiria dalam kitab al-Majmu’ (VIII/425), ulama berbeda pendapat terkait kebolehan menghidangkan daging kurban (memberi untuk dimakan, tanpa memberikan hak milik) kepada fakir miskin dari golongan non muslim. Imam al-Hasan al-Bashri, Abu Hanifah, dan Abu Tsaur membolehkannya, sementara Imam Malik memakruhkannya.

Selain itu, ada pula Imam al-Laits (94-175 H/713-791 M), pakar hadits dan fikih negeri Mesir pada masanya serta salah seorang guru terpenting Imam as-Syafi’i, yang menyatakan bila daging kurban telah dimasak maka boleh dihidangkan kepada non muslim dzimmi untuk memakannya bersama kaum muslimin.

Sementara dalam mazhab Syafi’i, sejauh penelusuran Imam an-Nawawi, belum ada Ashab as-Syafi’i yang membahasnya secara terang-terangan. Namun menurutnya, bila melihat standar prinsip-prinsip mazhab Syafi’i maka boleh menghidangkan daging kurban kepada non muslim dzimmi dari kurban yang bersifat sunnah, bukan dari kurban yang wajib. Demikian menurut an-Nawawi yang di kemudian hari membuat terheran-heran al-Adzra’i (708-783-1308-1381 M), pakar fikih Syafi’i kota Halab Syiria (al-Iqna’, II/244). Secara komprehensif an-Nawawi menuliskan (al-Majmu’, VIII/425):

(التَّاسِعَةُ) قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى جَوَازِ إطْعَامِ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ مِنْ الْأُضْحِيَّةِ وَاخْتَلَفُوا فِي إطْعَامِ فُقَرَاءِ أَهْلِ الذِّمَّةِ فَرَخَّصَ فِيهِ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَبُو ثَوْرٍ. وَقَالَ مَالِكٌ غَيْرُهُمْ أَحَبُّ إلَيْنَا وَكَرِهَ مَالِكٌ أَيْضًا إعْطَاءَ النَّصْرَانِيِّ جِلْدَ الْأُضْحِيَّةِ أَوْ شَيْئًا مِنْ لَحْمِهَا وَكَرِهَهُ اللَّيْثُ قَالَ فَإِنْ طُبِخَ لَحْمُهَا فَلَا بَأْسَ بِأَكْلِ الذِّمِّيِّ مَعَ الْمُسْلِمِينَ مِنْهُ هَذَا كَلَامُ ابْنِ الْمُنْذِرِ

“Permasalahan Kurban Kesembilan: Ibn al-Mundzir berkata: “Ulama bersepakat atas bolehnya menghidangkan daging kurban kepada orang-orang fakir dari kaum muslimin dan mereka berbeda pendapat dalam masalah menghidangkan daging kurban kepada orang-orang  fakir dari golongan ahli dzimmah (non muslim). Dalam hal ini al-Hasan al-Bashri, Abu Hanifah dan Abu Tsaur memberi keringanan (membolehkan); sementara Imam Malik berkata: ‘Selain mereka lebih Ku senangi.’ Imam Malik juga memakruhkan memberikan kulit  atau daging kurban, sedikit pun, kepada kaum Nasrani. Sedangkan Imam al-Laits berkata: ‘Bila daging kurban dimasak, maka tidak mengapa orang non muslim dzimmi memakannya bersama kaum muslimin.’ Demikian kata Ibn al-Mundzir.”

An-Nawawi lebih lanjut mengungkapkan (al-Majmu’, VIII/425):

وَلَمْ أَرَ لِأَصْحَابِنَا كَلَامًا فِيهِ وَمُقْتَضَى الْمَذْهَبِ أَنَّهُ يَجُوزُ إطْعَامُهُمْ مِنْ ضَحِيَّةِ التَّطَوُّعِ دُونَ الْوَاجِبَةِ. وَالله أَعْلَمُ .

“Aku tidak menemukan pendapat sahabat-sahabat kami (Syafi’iyyah) dalam masalah ini. Menurut prinsip-prinsip madzhab ini, boleh menghidangkan daging kurban kepada mereka orang fakir dari non muslim dzimmi dari kurban sunnah, bukan kurban yang wajib. Wallahu a’lam.”

Selain an-Nawawi, di kalangan Syafi’iyyah adapula al-Muhib at-Thabari (615-694 H/1218-1295 M) pakar fikih Syafi’i kota Makkah yang berpendapat serupa, boleh menghidangkan daging kurban kepada orang fakir dari non muslim dzimmi, sebagaimana bolehnya bersedekah kepadanya.

Pendapat Ulama Syafi’iyah
Pendapat an-Nawawi yang membolehkan menghidangkan daging kurban kepada non muslim dzimmi diperselisikan maksudnya. Apakah maksudnya:

(a) yang memberikan adalah pekurban sendiri sebagai tangan pertama, sebagaimana yang dipahami al-Adzra’i; atau

(b) yang memberikannya adalah orang fakir atau orang yang dihadiahi daging kurban sebagai tangan kedua, kemudian baru diberikan kepada non muslim.

Opsi pertama menurut jelas tidak boleh sebagaimana dalam Syarh ar-Ramli, sedangkan opsi kedua inilah yang diperselisihkan. Tidak boleh menurut  pendapat kuat dalam mazhab as-Syafi’i dan boleh menurut pendapat an-Nawawi yang dianggap lemah oleh ulama setelahnya (Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib, V/251-252 H dan Hasyiyyah Tuhfah al-Muhtaj, IX/346).

Solusi Praktis
Namun demikian, bila kita mengikuti pendapat mazhab Syafi’i, masalah ini bukan tanpa jalan keluar. Ada solusi yang bisa dipertimbangkan, yaitu:

(a) Panitia menghimpun dana/patungan membeli daging sejumlah orang non muslim yang menerima. Daging inilah yang nanti dibagikan kepada non muslim di lingkungan sekitar. Namun cara ini membutuhkan dana lumayan besar bila jumlah orang non muslim yang akan diberi daging kurban cukup banyak.

(b) Mengikuti pendapat an-Nawawi dan al-Muhib at-Thabari (meskipun dianggap lemah oleh mainstream ulama Syafi’iyyah), yaitu dengan memberikan daging kurban (sunnah) kepada orang fakir yang muslim, lalu muslim inilah yang memberikannya kepada non muslim.

Demikian ini cara berbagi daging kurban kepada non muslim, tanpa keluar pakem dari mazhab Syafi’i yang dianut secara luas di Indonesia.

(c) Mengikuti pendapat ulama Hanabilah yang boleh menghadiahkan daging kurban sunnah kepada non muslim, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (IV/282):

وَأَجَازَ الْحَنَابِلَةُ إِهْدَاءُ الْكَافِرِ مِنْ أُضْحِيَةِ التَّطَوُّعِ، أَمَّا الْوَاجِبَةُ فَلَا يَجُوزُ إِهْدَاءُ الْكَافِرِ مِنْهَا شَيْئًا.

“Ulama Hanabilah membolehkan menghadiahkan kurban sunnah kepada non muslim, sedangkan kurban wajib maka tidak boleh diberikan kepadanya sedikit pun.”

Sebagaimana kebolehan ini ditegaskan oleh tokoh besar kalangan mazhab Hanbali berdarah Baitul Maqdis Palestina yang kemudian hijrah ke Damaskus Syiria, al-Muwaffiq Ibn Qudamah al-Maqdisi (541-620 H/1146-1223 M) dalam kitab al-Mughni (IX/109):

وَيَجُوزُ أَنْ يُطْعِمَ مِنْهَا كَافِرًا … وَلَنَا أَنَّهُ طَعَامٌ لَهُ أَكْلُهُ فَجَازَ إِطْعَامُهُ لِلذِّمِيِّ كَسَائِرِ طَعَامِهِ، وَلِأَنَّهُ صَدَقَةُ تَطَوُّعٍ فَجَازَ إِطْعَامُهَا الذِّمِيَّ وَالْأَسِيرَ كَسَائِرِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ. فَأَمَّا الصَّدَقَةُ الْوَاجِبَةُ مِنْهَا فَلَا يُجْزِىءُ دَفْعُهَا إِلَى كَافِرٍ لِأَنَّهَا صَدَقَةٌ وَاجِبَةٌ، فَأَشْبَهَتِ الزَّكَاةَ وَكَفَارَةَ الْيَمِينِ.

“Dan boleh pekurban memberikan kurban sunnah kepada non muslim … Kita ulama Hanabilah mempunyai alasan: (a) bahwa kurban tersebut boleh dimakannya, sehingga boleh meghidangkannya kepada non muslim dzimmi sebagaimana makannya yang lain dan (b) karena kurban sunnah adalah sedekah sunnah, sehingga boleh menghidangkannya kepada non muslim dzimmi dan tawanan perang sebagaimana sedekah lainnya. Sedangkan sedekah wajib dari kurban maka tidak cukup (tidak sah) diberikan kepada non muslim, karena sedekah wajib menyerupai zakat dan kafarat (tebusan) melanggar sumpah.”

Kurban untuk Non Muslim Apakah Terbatas pada Dzimmi?
Lalu apakah kurban untuk non muslim apakah terbatas pada dzimmi sebagaimana mayoritas ungkapan ulama ketika membahasnya? Dalam kitab Hasyiyyah Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah (IXX/160) dijelaskan:

وَهَلْ بِتَقْيِيدِ مَا قَالَهُ بِفُقَرَاءِ الذِّمِّيِّينَ أَوْ يَجُوزُ عَلَيْهِ إطْعَامُ الْكُفَّارِ مُطْلَقًا وَلَوْ أَغْنِيَاءَ وَغَيْرَ ذِمِّيِّينَ؟ فِيهِ نَظَرٌ. وَقَضِيَّةُ الْمَعْنَى أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الذِّمِّيِّينَ وَغَيْرِهِمْ.

Apakah dengan batasan yang dikatakan oleh an-Nawawi: ‘orang-orang fakir dari golongan non muslim dzimmi, atau bagi pekurban boleh menghidangkan kurbannya kepada non muslim secara mutlak, meskipun kaya dan tidak dzimmi? Di situ perlu dikaji lagi. Namun secara substansial tidak ada perbedaan antara golongan non muslim yang dzimmi dan selainnya.

Referensi lainnya:

تحفة الحبيب على شرح الخطيب – ج 5 / ص 251

قوله :(وتعجب منه الأذرعي الخ) أي مما وقع في المجموع أي لأن القصد منها إرفاق المسلمين بأكلها لأنها ضيافة من الله فلا يجوز تمكين غيرهم منها. وكلام الشارح يقتضي أن الذي في المجموع وتعجب منه الأذرعي هو إطعام المضحي لفقراء أهل الذمة والذي في شرح م ر امتناع ذلك منه، وأن ما في المجموع إنما هو في إعطاء الفقير أو المهدى له شيئاً منها للكافر. وعبارته: وخرج بالمضحي عن نفسه ما لو ضحى عن غيره فلا يجوز له الأكل منها، كما لا يجوز إطعام كافر منها مطلقاً فقيراً أو غنياً مندوبة أو واجبة ويؤخذ من ذلك امتناع إطعام الفقير والمهدى إليه شيئاً منها للكافر إذ القصد منها إرفاق المسلمين بأكلها ، لكن في المجموع أن مقتضي المذهب الجواز.  وفي ع ش على م ر . ودخل في الإطعام ما لو ضيف الفقير أو المهدى إليه الغني كافراً فلا يجوز نعم لو اضطر الكافر ولم يوجد ما يدفع ضرورته إلا لحم الأضحية فينبغي أن يدفع له منه ما يدفع ضرورته ويضمنه الكافر ببدله للفقراء، لو كان الدافع له غنياً كما لو أكل المضطر طعام غيره فإنه يضمنه بالبدل ولا تكون الضرورة مبيحة له إياه مجاناً اه .

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – ج 41 / ص 141

( قَوْلُهُ : وَيُؤْخَذُ مِنْهُ ) أَيْ مِنْ عَدَمِ جَوَازِ أَكْلِ الْكَافِرِ مِنْهَا مُطْلَقًا ( قَوْلُهُ : إنَّ الْفَقِيرَ ، وَالْمُهْدَى إلَيْهِ إلَخْ ) لَكِنْ فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ مُقْتَضَى الْمَذْهَبِ الْجَوَازُ نِهَايَةٌ أَيْ وَهُوَ ضَعِيفٌ كَمَا يُعْلَمُ مِمَّا يَأْتِي فِي الشَّارِحِ ا هـ .

رَشِيدِيٌّ وَسَيَأْتِي تَضْعِيفُهُ أَيْ كَلَامُ الْمَجْمُوعِ عَنْ سم عَنْ الْإِيعَابُ أَيْضًا

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 41 / ص 146)

( قَوْلُهُ : وَلَا يُصْرَفُ شَيْءٌ مِنْهَا لِكَافِرٍ عَلَى النَّصِّ ) قَالَ فِي شَرْحِ الْعُبَابِ كَمَا نَقَلَهُ جَمْعٌ مُتَأَخِّرُونَ وَرَدُّوا بِهِ قَوْلَ الْمَجْمُوعِ وَنَقَلَهُ الْقَمُولِيُّ عَنْ بَعْضِ الْأَصْحَابِ وَهُوَ وَجْهٌ مَالَ إلَيْهِ الْمُحِبُّ الطَّبَرِيُّ أَنَّهُ يَجُوزُ إطْعَامُ فُقَرَاءِ الذِّمِّيِّينَ مِنْ أُضْحِيَّةِ التَّطَوُّعِ دُونَ الْوَاجِبَةِ أَيْ كَمَا يَجُوزُ إعْطَاءُ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ لَهُ وَقَضِيَّةُ النَّصِّ أَنَّ الْمُضَحِّيَ لَوْ ارْتَدَّ لَمْ يَجُزْ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا وَبِهِ جَزَمَ بَعْضُهُمْ وَأَنَّهُ يَمْتَنِعُ التَّصَدُّقُ مِنْهَا عَلَى غَيْرِ الْمُسْلِمِ ، وَالْإِهْدَاءُ إلَيْهِ ا هـ .

Achmad Faiz Sahly dan Ahmad Muntaha AM,
PPM Aswaja-Magelang


Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB