Kiai Kantong Bolong
Cari Berita

Advertisement

Kiai Kantong Bolong

Minggu, 30 Juli 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Rijal Mumazziq Z.

DutaIslam.Com - Petruk, kata Emha Ainun Nadjib, adalah lambang dari sikap dingin dan kelenturan. Itu sebabnya, dia disebut Kiai Kantong Bolong. Nama itu menjelaskan falsafah kekosongan. Jiwa tanpa dinding sehingga tak bisa digedor. Mental tanpa tembok hingga tak bisa dirobohkan. Kekosongan tak bisa dipukul, tak luka dipisau, dan tak ada kekuatan apapun yang membuatnya berkeping-keping.

Kekosongan itu tak bisa diisi. Namanya saja kekosongan. Persis seperti air. Semua air itu murni dan bersih. Tak ada air kotor, yang ada hanya air murni ditambah kekotoran. Kotoran itu kotoran, dan air murni tetap air murni. Karena itu, orang tetap bisa minum dari comberan atau air sampah yang diolah sebab air murni tetap ada dan tetap abadi. Demikian Cak Nun menjelaskan sekelumit falsafah Kantong Bolong dalam karyanya, “Arus Bawah”. Falsafah ini dia jelaskan pula dalam “Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai”, karyanya yang lain.

Lantas, apa yang hendak saya sampaikan di sini? Sakho’ alias kedermawanan, nyah-nyoh, yang dimiliki oleh manusia yang punya kelapangan jiwa dan kekayaan hati. Seseorang yang punya sifat ini tidak pernah memperhitungkan konsekwensi tindakan dermawannya. Dia tahu apabila perbuatannya ini tidak akan membuatnya kere, miskin, justru malah menaburkan benih-benih kesuburan hartanya dan melembutkan sensifitas perasaannya. Dan, lucunya, dia biasanya cuek dengan timbal baliknya. Sebab, yang dia tuju cuma dua, membantu sesama dan meraih ridla Sang Mahakaya. Itu saja.

Dalam Risalah Qusyairiyah, dijelaskan apabila sakho’ menjadi tahapan termudah seorang sufi menapak tangga ruhaniah. Sakho’ adalah tahapan awal menuju jud (murah hati), dan yang terakhir adalah itsar. Jika sakho’ berarti memberi sebagian sekaligus menyimpan sebagian lain, jud berarti memberi porsi yang lebih besar sekalgus menyisakan sedikit untuk diri sendiri, maka itsar bermakna mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi. memberikan semua yang dimiiki tanpa memperhitungkan diri sendiri.

Kalau saya menyodorkan sifat itsar yang dimiliki oleh mertua Rasulullah, Sayyidina Abu Bakar Asshiddiq, dan Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu anhuma, di mana dalam salah satu cerita saling berkompetisi dalam hal kedermawanan, tentu pembaca akan menyentil, “Ya iyyalah, beliau berdua kan generasi emas era Rasulullah, nggak heran.” Demikian pula saat saya kutip realisasi itsar-nya Sayyidina Utsman dan Sayyidina Ali, dan generasi salaf yang saleh. Mereka adalah generasi terbaik didikan Rasulullah yang masing-masing sangat kuat sifat “Kantong Bolong”-nya.

Kalau terlampau jauh mencari contoh, baiklah, saya ambil yang dekat saja. Ibu Ny. Halimah Abdurrahim, adik KH. Maimoen Zubair, adalah seorang perempuan salehah yang terkenal dengan sifat kedermawanannya. Para santri, kerabat dan para sahabat mengenangnya sebagai perempuan yang kuat sifat sakho’-nya. Siapapun yang berkunjung ke kediamannya, bisa dipastikan diwajibkan makan, dan apabila pulang biasanya dikasih buah tangan. Beliau tak pernah berpikir kalau perbuatannya bakal merugikan dirinya. Sebab harta benda di matanya adalah salah satu metode menyenangkan orang lain dan memperoleh ridla-Nya.

Kiai Hamid, Pasuruan, yang terkenal sebagai waliyullah, adalah salah satu contoh tepat realisasi Kiai Kantong Bolong ini. Seringkali beliau menerima salam tempel dari para tamunya. Amplop diterima, dimasukkan sakunya. Lantas, ketika ada tamu lain datang dan mengeluhkan kondisi ekonominya yang mepet, ataun kebutuhannya yang berjibun tapi tak punya fulus, Kiai Hamid langsung mengambil amplop di sakunya dan memberikannya kepada tamunya tersebut. Kadang satu amplop, seringkali malah lebih, yang diberikan kepada mereka yang membutuhkan.

Kiai Hamid menyediakan dirinya sebagai “pipa” yang menjadi lantaran rizki orang lain. Beliau menjadikan dirinya wasilah kebutuhan orang lain: yaitu mereka yang butuh memberi dan butuh menerima pemberian. Kantongnya bolong, blong, oleh karena itu tidak ada harta yang nyantol di sakunya, apalagi di hatinya. Tidak ada rasa takut miskin, tak ada kekhawatiran menjadi fakir. Semua mengalir.

Kiai Kantong Bolong dalam kemasan jenaka hadir dalam diri Gus Dur. Sebagai Ketua Umum PBNU, bisa saja beliau menjual nama NU untuk kepentingan pribadi. Sebagai Presiden RI-4, beliau sangat bisa selintutan menerima upeti dari mereka yang berkepentingan, maupun menerima pos-pos jabatan kosong agar ditempati kerabat dekatnya, sebagai direksi perusahaan ini-itu, dan sebagainya. Atau, posisinya sebagai “bapak Tionghoa” memungkinkannya menjaring upeti dari koneksinya dengan berbagai pengusaha Tionghoa. Tapi tidak, Gus Dur tidak melakukannya.

Dalam kesederhanaan dia menghidupi keluarganya dengan menulis di media massa, maupun mengisi seminar. Lantas di mana letak kantong bolongnya? Letak Tarekat Petruk-iyahnya? Semangat ini ada ketika beliau berada di pusat-pusat “kemakmuran” tapi tidak memanfaatkan untuk memperkaya dirinya. Dia sudah mengosongkan dirinya dari hal-hal semacam itu.

Salah seorang pendereknya melihat, ketika lebaran tiba, Gus Dur banyak disowani berbagai kalangan. Nyaris semua memberi salam tempel kepadanya. Gus Dur menerimanya dan menaruhnya di samping kaki kursi tempat duduknya. Menumpuk di situ. Apabila ada tamu datang yang mengeluhkan kebutuhan ekonominya, biaya sekolah anak, beras habis, biaya persalinan istri, Gus Dur langsung mengambil beberapa amplop di kakinya dan menyodorkannya.

Dalam buku “Sang Zahid”, Kiai Husein Muhammad menuturkan bagaimana Gus Dur secara reaktif dan cepat membantu kebutuhan orang lain, meskipun di saat yang sama sebenarnya beliau juga membutuhkannya.

Dalam salah satu hadits, Rasulullah mengqiyaskan apabila Sakho’ diumpamakan pepohonan surga, sedangkan cabang-cabangnya menjulur berjuntai ke dunia, barangsiapa yang berpegangan dengan cabang satu dari pohon itu, maka cabang itu akan mengantarkan ke surga. Sebaliknya, sifat bakhil akan mengantarkan jalan ke neraka.

Namun sakho’ itu harus tepat. Sebab, kalau tidak tepat, malah menyalahi sifat mulia ini. Para politisi bagi-bagi proyek bukan manifestasi dari sifat sakho’, melainkan tamak. Sebab, secara kurang ajar mereka menghamburkan uang rakyat untuk kepentingan politik pribadi, untuk memperkuat jaringan, serta sebar uang untuk sogok ini itu. Megakorupsi Bank Century, Hambalang, dan  saat ini proyek e-KTP adalah buktinya.

Menutup tulisan ini, cara mudah memahami falsafah kantong bolong adalah dengan mengutipnya dari ungkapan filsuf Jawa, RM. Soskrokartono, yang menuliskannya pada 12 Nopember 1932: Nulung Pepadane, ora nganggo mikir wayah, waduk, kantong. Yen ono isi lumuntur marang sesami (menolong sesama tanpa peduli waktu, perut, kantong. Bila ada sesuatu, diperuntukkan kepada sesama manusia). [dutaislam.com/gg]

Rijal Mumazziq Z,
Pengajar STAI Al-Falah Assunniyyah Kencong Jember
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB