Sakralitas Isra Miraj Terganggu oleh Propaganda Khilafah
Cari Berita

Advertisement

Sakralitas Isra Miraj Terganggu oleh Propaganda Khilafah

Minggu, 16 April 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Ach. Tijani

DutaIslam.Com - Bulan Rajab bagi umat Islam merupakan bulan istimewa. Di dalamnya terdapat peristiwa maha penting dalam sebuah perjalanan Rasulullah SAW dari masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Pelestina, kemudian dilanjutan ke Sidratul Muntaha.

Perjalanan tersebut dilalui oleh Rasulullah dengan hitungan waktu yang sangat cepat, yaitu kurang dari satu malam. Suatu peristiwa yang tidak lazim, namun bukan berarti tidak mungkin. Apalagi dalam peristiwa tersebut tersurat dalam Al-Quran surat al-Isra’ ayat 1, dimana Rasulullah sebagai seorang hamba yang diperjalankan oleh dan atas nama Allah dengan segala kekuasan dan kekuatan-Nya yang tidak terhingga.

Peristiwa maha penting tersebut kemudian selalu diperingati setiap tahunnya oleh kaum muslimin di Indonesia, khususnya oleh warga Nahdliyyin. Pilihan memperingati tentu pilihan yang sangat arif, di dalamnya terdapat dimensi kecintaan kepada Rasulullah yang dikemas dengan budaya kenusantaraan. Sungguh hal tersebut  merupakan sikap keberagamaan yang menyejukkan, cermin dari menjadi muslim yang idonesiawi, yaitu beragama tanpa menepikan budaya dan kecintaan terhadap bangsa.

Di sudut lain negeri ini masih dalam bulan yang sama (bulan Rajab) terdapat sekelompok umat muslim yang tenggelam dalam euforia dan antusiasme berlebihan dengan kemasan bernuansa arabis (ke-arab-araban) mencoba menunjukkan eksistensi dan kekuatannya. Dikibarkanlah bendera (liwa) bertuliskan kalimat tauhid, bahkan liwa tersebut diagendakan diarak keliling kota dengan klaim sebagai simbol kebangkitan Islam dan secara spesifik sebagai bagian dari upaya kebangkitan khilafah dan daulah Islamiyah.

Gerakan demonstratif tersebut secara implisit telah mengundang perhatian sebagian warga muslim di negeri ini, bahkan ada yang terjebak di kamuflase politis berkedok Islam tersebut. Kelompok ini kemudian dengan bangga dan telah dimaklumi secara nasional berada dalam naungan kelembagaan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

HTI dalam persoalan unjuk aksi dan demonstrasi simbol ideologisnya dalam bulan April ini saja sudah berkali-kali mengagendakan di sejumlah kota, di antaranya yang dapat dicatat dalam tulisan ini adalah, di Surabaya Jawa Timur pada tanggal 1 April 2017, kemudian tanggal 11 April 2017 di Jawa Barat. Lalu sampailah pada giliran Pontianak yang diagendakan sebagai host dari acara arak-arakan liwa (bendera) kebesaran HTI tersebut yang sedianya digelar pada hari Sabtu tangal 15 April 2017 yang lalu.

Seperti halnya di kota atau provinsi lainnya, aksi HTI selalu mendapatkan penolakan, begitu juga yang terjadi di kota Pontianak. Secara umum substansi dari sejumlah penolakan tersebut adalah, menempatkan HTI sebagai gerakan yang berpotensi merongrong keutuhan kehidupan berbangsa, sekaligus tentu juga akan mencabik-cabik keutuhan NKRI.

NU secara umum dalam konteks ini memilih pilihan tegas, yaitu menolak segala bentuk gagasan dan upaya dari individu maupun ormas apapun yang menghendaki mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa. Secara khusus ketua PC NU Kota Pontianak Drs. Ahmad Faruki menegaskan hal tersebut dalam agenda lawatan resminya di hadapan Kapolresta Pontianak 13/4/2017.

Baca: HTI Ngotor Gelar Karpet Khilafah, Siap-Siap Apa yang Terjadi

Penolakan demi penolakan terhadap HTI adalah realita yang tidak dapat dibendung sebagai bagian dari kecintaan terhadap bangsa ini. Berbagai kajian serius tentang HTI juga telah beredar di tengah-tengah masyarakat, sehingga mengagendakan perdebatan tentang identitas HTI adalah pilihan yang konyol. Jikapun memang sangat terpaksa, maka tema diskusinya harus bergeser pada persoalan kebangsaan, sekaligus memberikan klarifikasi mengenai Pancasila, Islam dan Indonesia. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya terbuka untuk seluruh aktifis HTI dari tingkat akar rumput hingga pada elitnya yang selama ini gagal paham terhadap Pancasila.

Dengan demikian, menurut hemat penulis, permintaan untuk tabayyun dari pihak HTI kepada NU sebagai ormas Islam yang selama ini getol menghadang laju HTI di bumi Nusantara ini adalah suatu permintaan yang keliru. Semestinya pihak HTI yang harus melakukan tabayyun terhadap ideologi Pancasila yang selama ini telah dipandang keliru. Jika pilihan ini yang dipilih oleh HTI, menurut hemat penulis PC NU kota Pontianak dengan sangat terbuka bersedia menjadi host yang akan menjembatani antar pemahaman keislaman dalam tubuh HTI dan pemahaman keislaman ala Indonesia.

Tawaran pilihan bertabayyun bagi HTI mengenai Pancasila menurut hemat penulis masih sangat relevan dengan semangat bulan Rajab yang sama-sama diarayakan oleh NU maupun HTI dengan maksud yang berbeda. Jika pilihan tawaran ini dapat ditanggapi secara positif, tentu pintu taubat masih sangat terbuka.

Pada saat yang sama, nantinya kita (NU dan HTI) akan merayakan kesakralan bulan Rajab secara bersama-sama sebagai simbol kebangkitan spritualitas dan kesalehan sosial, sebagaimana perjalanan Rasulullah Mekkah ke Masjidil Aqsha (horizontal) dan naiknya Rasulullah ke Sidratul Muntaha (vertikal). Dengan makna implikatif, kita semua harus menjadi muslim yang taat beribadah kepada Allah (vertikal) sekaligus juga mencintai bangsa ini (horizontal).

Tawaran ini sengaja dikorelasikan dengan makna dan semangat perayaan Isra’ Mi’raj yang kebetulan juga bersamaan dengan semangat Rajab yang digelorakan oleh saudara-saudara dari HTI.
Hal tersebut dimaksudkan agar dapat dipertimbangkan, apakah kemudian semangat Rajab itu akan tetap mengalir dengan semangat khilafah atau kemudian berganti menjadi semangat Isra’ Mi’raj. Harapannya, tentu pada pilihan yang kedua. Semoga. [dutaislam.com/ab]

Ach. Tijani, anggota Lakpesdam NU Kota Pontianak

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB