Di Sidoarjo Memang Banyak Kaum Cingkrang Arogan yang Suka Rebut Masjid
Cari Berita

Advertisement

Di Sidoarjo Memang Banyak Kaum Cingkrang Arogan yang Suka Rebut Masjid

Rabu, 08 Maret 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

DutaIslam.Com - Ini adalah surat terbuka yang ditulis oleh Idham Khalid, Sekretaris FKUB Sidoarjo yang ditujukan kepada M Nur Khoiron, Anggota Komnas HAM.

Saya ingin sampaikan pendapat saya terkait peristiwa polemik GP Ansor Sidoarjo dengan jama'ah di Masjid Shalahudin yang mengundang Ust. Khalid Basalamah tanggal 4 Maret 2017 kemarin. 

Bahwa terjadi berbagai pendapat yang tidak sedap atas sikap sahabat Ansor dan Banser, saya perlu memberikan gambaran dalam sudut pandang sebagai orang yang lahir di Sidoarjo, dari leluhur-leluhur saya orang sidoarjo sehingga saya mengerti bagaimana suasana kebatinan warga Sidoarjo. 

1). Bahwa kejadian tanggal 4 Maret 2017 bukanlah peristiwa yang tiba-tiba begitu saja dan berdiri sendiri tanpa sebab-sebab yang mempengaruhinya. Sebab-sebab inilah yang perlu kiranya diuraikan untuk menjelaskan akar persoalan. 

Ada latar belakang sosilogis yang mempengaruhi peristiwa ini. Secara umum sejak 2000-an, saya merasakan perubahan sosiologis Sidoarjo karena industrialisasi, yaitu meningkatnya urban ke Sidoarjo. Mereka berasal dari latar belakang yang beragam, baik etnis maupun agama. 

Soal kelompok agama, khususnya Islam, keragaman ini begitu menonjol dengan hadirnya kelompok-kelompok Islam berciri baju gamis, celana cingkrang, berjenggot, dahi hitam dan seterusnya.

Sebelumnya di Sidoarjo telah terjalin harmoni antara NU, Muhammadiyah, LDII dan lainnya bisa hidup berdampingan tanpa ada gesekan, bahkan biasa bekerja sama dan saling mengundang dalam kegiatan masing-masing, dan itu terjalin bertahun-tahun karena prinsip saling menghormati ajaran dan paham masing-masing.

Orang-orang NU tidak pernah mengatakan paham Muhammadiyah salah di hadapan warga NU, tetapi biasa menyebut bahwa pemahaman orang Muhammadiyah berbeda tapi kita hormati perbedaan itu. Demikian juga orang Muhammadiyah kepada orang NU dan seterusnya.

Masuknya kelompok-kelompok baru ini dalam catatan pengamatan saya tidak sama dengan tatakrama dalam perbedaan seperti NU dengan Muhammadiyah, LDII dan lainnya. Bisa saya uraiakan sebagai berikut:

a. Adanya sikap yang tidak bijak dengan mengatakan bahwa amalan yang benar adalah yang mereka pahami, sedangkan amaliah orang lain itu sesat, dan mereka kita doakan supaya mereka mendapatkan hidayah. 

Pernyataan-pernyataan seperti ini jelas menunjukkan sikap yang tidak baik, dan memantik perasaan ketersinggungan. Apalagi sebagaian besar warga Sidoarjo yang asli banyak adalah orang-orang pesantren yang sejak kecil belajar agama di pesantren.

b. Sikap dan perilaku orang-orang Islam yang ini sangat nampak sikap antipati kepada orang di luar mereka, hanya mau berkumpul dengan kelompoknya, menganggap orang lain dengan sikap-sikap tidak hormat. Mereka membangun sekolah sendiri untuk anak-anak mereka dan tak mau bersekolah di tempat lain. 

Jadi telah mereka membangun batas pemisah sosial antara mereka dengan yang lain. Sikap dan perilaku sosial ini jelas menyinggung suasana kebatinan warga Sidoarjo yang asli, karena mereka adalah pendatang. Jadi, sikap dan perilaku sosial ini turut menjadi penyebab potensi konflik.

C. Banyak masjid-mushala milik warga NU warga Muhammadiyah yang mereka ambil alih, mereka kuasai lalu mereka ubah tata cara amaliahnya tanpa menghormati bahwa ada amaliah yang telah dirintis oleh pendiri masjid tersebut, yakni NU atau Muhammadiyah. 

Bahkan banyak masjid yang status kepemilikannya telah beralih dari akad waqaf semula, misalnya milik orang NU atau Muhammadiyah menjadi status kepemilikan grup mereka secara legal. 

Lalu mereka menyingkirkan para pengurus sebelumnya. Hal-hal ini juga harus diperhatikan sebagai sebab-sebab laten potensi konflik yang mereka ciptakan. Termasuk masjid Shalahudin, yang awalnya masjid ini terbuka dan umum, siapapun bisa berkegiatan di sana. 

Saya tahu betul karena satu desa dengan saya. Tetapi belakangan ini masjid tersebut secara khusus mereka "kuasai" dan dilaksanakan kegiatan serupa. 

2). Pengaruh ceramah-ceramah Khalid Basalamah yang terekam di banyak media menimbulkan tafsir bahwa Khalid Basalamah bermaksud mencaci amaliah warga NU. Warga Sidoarjo banyak memperbincangkan ceramah-ceramah ini sebelumnya karena tidak terbiasa mendengarkan pendapat dalam forum pengajian yang menyebut satu amaliah salah dan berpotensi sesat dan masuk neraka.

Contoh pernyataan khalid basalamah di salah satu unggahan Youtube menyebut, "tidak ada amalan dzikir yang macam-macam diajarkan Rasulullah SAW, juga tidak ada doa setelah shalat, apakah dengan nambah-nambahi kita mengangggap lebih pinter dari Rasulullah SAW". 

Di warga NU, jika menerangkan perbedaan akan mengatakan bahwa NU biasa dzikir dengan cara ini, sanadnya berdasarkan pendapat ulama ini dan seterusnya, tetapi orang Muhammadiyah tidak seperti berdasarkan pendapat ini, kita tidak usah menyalahkan karena sama-sama benar, yang salah adalah yang tidak shalat dan seterusnya.

Jadi pendapat-pendapat Khalid Basalamah telah mengguncang ketenteraman beragama warga di bawah. Apakah Khalid Basalamah menyadari dampak yang dirasakan warga?

Maka ketika ada berita Khalid Basalamah hadir di Sidoarjo, reaksi seperti yang dilakukan Ansor adalah spontan yang wajar. Sebagai orang yang telah tersinggung dan bertumpang-tindih dengan suasana kebatinan sebagai warga santri di Sidoarjo, kenapa Khalid Basalamah tidak pernah merasakan telah menyakiti orang lain.

3). Bahwa kejadian penghentian itu diawali negosiasi dengan panitia difasilitasi pihak kepolisian. Bahwa GP Ansor meminta jangan Khalid Basalamah tolong penceramahnya yang lain tetapi panitia tetap ngotot Khalid Basalamah. Isi dan proses negosiasi menandaksn Ansor tidak membenci pengajian tersebut, tetapi meminta jangan Khalid Basalamah.

4). Pada hari kejadian, Ansor tidak langsung membabi buta membuyarkan pengajian, tetapi hanya minta agar bukan Khalid Basalamah yang ceramah itu dilakukan dengan perundingan terlebih dahulu bersama panitia dan kapolresta sidoarjo. Lalu penghentian dengan beberapa kesepakatan juga berjalan tanpa kekerasan. Sebaliknya ada angggota Ansor yang dipukul oleh jamaah masjid tersebut. 

Demikian gambaran dari saya, untuk menjadikan penjelasan secara sosiologis. [dutaislam.com/ ab]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB