Tidak Setuju NKRI dan Pancasila, Silakan Gugat Kiai-Kiai Sepuh NU
Cari Berita

Advertisement

Tidak Setuju NKRI dan Pancasila, Silakan Gugat Kiai-Kiai Sepuh NU

Minggu, 05 Februari 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Muhammad Faishol

DutaIslam.Com - Sejarah telah membuktikan, peran Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan NKRI tidak perlu diragukan lagi. Para ulama dan santri telah berkorban jiwa raga sejak bangsa ini belum merdeka. Bahkan, sampai saat ini pun Nahdlatul Ulama tetap konsisten terhadap sikap tasamuh kebhinekaan yang terus digelorakan untuk menjaga keutuhan NKRI memlalui penerimaannya terhadap ideologi Pancasila yang sudah final. Artinya, NKRI bagi Nahdlatul Ulama sudah harga mati.

Akhir-akhir ini, ada sebagian kelompok Islam yang bernama HTI yang secara massif bercita-cita mendirikan Khilafah Islamiyah. Atau ada juga FPI melalui Imam Besarnya, yang Mulia Habib Rizieq Syihab yang sering menyebut konsep NKRI Bersyariah. Tentu hal ini tidak menjadi masalah sebagai bagian kebebasan berpendapat dan akan mewarnai dinamika berfikir masyarakat. Tetapi sekali lagi tentu dua konsep di atas, Khilafah dan NKRI Bersyariah bertentangan dengan cita-cita ulama sepuh NU.

Khilafah versi HTI adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia, itu artinya HTI tidak mau menerima konsep yang saat ini sudah ada, bangsa Indonesia sebagai salah satu bagian dari negara di dunia harus melebur jadi satu dengan negara-negara Islam lainnya di dunia untuk mendirikan negara Islam dengan satu pimpinan.

Tidak jauh berbeda dengan FPI dengan NKRI bersyariahnya, silahkan lihat di web resmi FPI salah satu tulisan yang di upload 2015 lalu (http://www.fpi.or.id/2015/10/nkri-bersyariah-vs-islam-nusantara.html) yang mengatakan bahwa bagi NKRI Bersyariah bahwa sistem khilafah adalah sistem yang harus ditegakkan, apalagi sudah berhasil membuktikan diri selama tiga belas tahun abad lebih sebagai sistem terbaik yang sukses memimpin dunia.

Jelas dua konsep tersebut bertentangan dengan Nahdlatul Ulama yang secara tegas mengatakan NKRI yang berdasarkan ideologi Pancasila adalah sudah final dan Harga Mati. Sebagaimana telah tertuang dalam dalam keputusan Munas Alim Ulama NU tahun 1983 No. 11/MANU/1404/1983. Keputusan ini dikuatkan kembali pada saat Muktamar NU tahun 1984 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukerojo Situbondo yang saat itu di asuh oleh Almaghfurlah KH As’ad Samsul Arifin.

Selain itu, kalau kita mengingat pesan Almaghfurlah KH Sahal Mahfudz dalam beberapa kesempatan, kiai kharismatik ini mengungkapkan bahwa NU sejak awal mengusung ajaran Islam tanpa melalui jalur formalistik, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara formal. NU memiliki keyakinan bahwa syariat Islam dapat diimplementasikan tanpa harus melalui isntitusi formal.

NU lebih mengidealkan subtansi nilai-nilai syariah terimplementasi di dalam masyarakat dibandingkan dengan mengidealisasikan institusi. Kehadiran institusi formal bukan jaminan untuk terwujudnya nilai-nilai syariah di dalam masyarakat. Ini mempertegas posisi NU bahwa tidak akan memperjuangkan syariat Islam secara formal apalagi mendesak megara menggunakan asas Islam dan Peraturan-Peraturan Daerah (Perda) Syariat Islam.

Mudahnya begini, bangsa ini bisa merdeka berkat perjuangan dari berbagai macam golongan, suku, dan agama. Sebagaimana analogi yang sering disampaikan oleh Wakil Rois Syuriah PWNU Jawa Timur KH Marzuki Mustamar bahwa bagi yang suka es teh manis, minuman yang paling mantap ya es teh manis. Tapi yang tidak suka karena diabetes tentu tidak bisa meminumnya.

Bagi yang suka cendol minuman yang paling ‘maknyus’ ya es cendol, tapi bagaimana bagi yang terkena tekanan darah tinggi tentu tidak akan mau meminumnya. Lain halnya dengan air putih, memang rasanya tawar, biasa saja, dan mungkin tidak bisa memuaskan dua orang penyuka minuman tadi. Tetapi, istimewanya air putih bisa diminum dua orang tadi. Bukankah Indonesia ini ada untuk menyatukan berbagai ras, suku, dan agama? Bhineka Tunggal Ika adalah konsep yang luar biasa.

Lalu apakah jika kita tidak sepakat dengan konsep khilafah dan NKRI Bersyariah, lalu kita disebut sebagai Anti Islam dan Anti Syariah? Tentu tidak, yang sedang kita bicarakan adalah miskonsepsi kita tentang Agama Islam, bukan Agama Islamnya.

Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang KH Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) di Bandung pada tanggal 27 Januari 2017 lalu bahwa jika berbicara syariat Islam atau dalam istilahnya yang Mulia Habib Rizieq Syihab disebut NKRI Bersyariah sesungguhnya sudah dicoret para Founding Father kita pada 18 Agustus 1945 dan dalam tataran Undang-Undang Dasar (UUD) sudah tidak ada lagi.

 Namun, dalam produk legislasi, beberapa syariat dapat dimasukkan seperti telah ditetapkannya UU Perkawinan, UU Perbankan Syariah, dan Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam. Dari situlah, sudah jelas kiai-kiai sepuh NU beranggapan bahwa tidak perlu mengganti konsep NKRI yang berdasarkan ideologi Pancasila dengan konsep lainnya.

Kalau Anda merasa NU, dan tidak setuju dengan NKRI dan Pancasila mungkin Anda bisa menggugat kiai-kiai sepuh NU yang tentu kapasitas keilmuannya tidak diragukan lagi. Dan yang terpenting konsep NKRI yang berdasarkan ideologi Pancasila tidak melanggar ayat dan hadits manapun.

Dengan berbagai pertimbangan memalui forum musyawarahnya para kiai sepuh NU terdahulu sudah menganggap final konsep NKRI. Bahkan Almaghfurlah KH Ahmad Shidiq Jember beranggapan bahwa sesungguhnya Pancasila itu adalah meneladani sikap Nabi Muhammad dengan Piagam Madinahnya. [dutaislam.com/ ab]

Muhammad Faishol, buruh di Gubuk Lentera Kota Malang

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB