Posisi NU Pasca Pilkada DKI: Jika AHY atau Anies Menang, Kelompok Islam Puritan Antri Jatah
Cari Berita

Advertisement

Posisi NU Pasca Pilkada DKI: Jika AHY atau Anies Menang, Kelompok Islam Puritan Antri Jatah

Jumat, 10 Februari 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Zastrow Al Ngatawi 

DutaIslam.Com - Hiruk pikuk Pilkada DKI telah menarik perhatian masyarakat Indonesia. Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, NU tidak lepas dari hiruk pikuk yang sedang terjadi. 

Meski para pemimpin NU telah berupaya untuk menjaga jarak dari pusaran arus politik, namun karena jumlah massa yang menggiurkan, tetap saja banyak pihak yang berupaya menarik narik NU ke pusaran arus dengan berbagai cara. Mulai dari cara halus melalui lobi dan persuasi, sampai cara kasar dibully di medsos dengan kata-kata kasar, dianggap tidak bela Islam, ulamanya dihina dan di caci karena tidak mau menggerakkan NU unt msk dalam kubangan politik. 

Bahkan terakhir upaya menggoreng isu pelecehan ulama tertinggi yang secara formal organisatoris menjadi simbol moral dan marwah organisasi juga tidak berhasil menyeret NU dalam konflik politik. Dengan sikapnya yang seperti ini, kira-kira bagaimana posisi NU pasca Pilkada DKI, terutama NU DKI yang bersentuhan lengasung dengan situasi politik DKI?

Jika merujuk pada realitas politik kekinian dan mencermati para aktor yang bermain, tampaknya NU akan menempati posisi yang sulit secara sosial politik jika yang menang AHY atau Anis. Tapi sebaliknya, jika Ahok yang menang, maka NU akan mendapat posisi politik yang baik dan strategis.

Secara politis dan psikologis AHY lebih dekat pada kompok FPI dan Islam puritan garis keras atau kelompok Islam politik daripada dengan NU. Ini térjadi karena sejak awal kelompok inilah yang bergerak menggempur habis Ahok dengan memanfaatkan isu agama secara massif. 

Secara politis gerakan ini sangat menguntungkan AHY dan Anis. Ini artinya jika AHY memang kelompok inilah yang akan pertama kali antri untuk mendapatkan jatah dalam kekuasaan karena mereka akan menjadi representasi kekuatan politik Islam yang langsung berada di lingkaran dalam kekuasàan AHY. 

Ini berbeda kalau Anis yang berjaya, mereka tidak bisa langsung berada di depan karena masih ada PKS yang jadi partai pengusung yang dianggap sebagai representasi politik Islam. Jika Anis jadi gubernur, kelompok Islam politik non partai harus antri di belakang PKS.

Bagi AHY sendiri, ia tentu lebih nyaman dengan kelompok Islam Politik ini daripada memdekati NU, mengingat sikap NU yang tidak mau mendukung gerakan Islam politik, bahkan cenderung mengganjal. 

Meskipun sikap NU ini dilakukan dalam upaya menjaga keutuhan bangsa yang terancam tercabik karena isu sektarian yang dimainkan oleh gerakan Islam politik, namun bagi pemenang, sikap ini akan dianggap tidak penting karena bisa menguntungkan lawan politik. NU akan dianggap tidak layak dapat jatah dalam kekuasaan karena sikapnya yang menguntungkan pihak lawan.

Hal yang sama akan terjadi jika Anis yang menang. PKS sebagai partai pengusung juga merasa lebih dekat dengan kelompok islam politik dan kaum formalis puritan garis keras daripada dengan NU. Jika mereka menang, maka mereka tidak akan melihat NU. Bahkan NU akan dilihat sebagai macan ompong yang sudah tidak punya kekuatan.

Kelompok Anis akan merasa bahwa kemenangan mereka merupakan bentuk keberhasilan mencuri simpati massa, termasuk warga NU, melalui gerakan yang dimotori oleh FPI dan para aktivis Islam politik lainnya. Artinya mereka akan merasa warga NU lebih percaya pada mereka daripada para pengurus NU. 

Mereka akan mengakomodasi beberapa tokoh NU yang selama ini dianggap berjasa dalam proses pilkada, namun itu sifatnya personal tidak bersama gerbong NU. Akomodasi politik tokoh NU hanya sekedar balas budi dan representasi, dia tidak akan menempati posisi strategis dan fungsional. Posisi strategis akan diserahkan pada pendukung yang sudah antri duluan.

Pendeknya, jika AHY atau Anis menang, maka akan menjadi momentum kebangkitan Islam puritan simbolik, sehingga akan menjadi mainstream gerakan Islam di Indonesia, khususnya Jakarta. Dengan demikian, kelompok Islam mederat kuktural seperti NU akan dipinggirkan dari panggung politik seperti di era Orde Baru. Karena selain sudah tidak diperlukan, NU juga dianggap sudah tidak punya kekuatan.

Hal sebaliknya akan terjadi jika Ahok yang menang. Kemenangan Ahok akan menjadi momentum kekalahan Islam politik garis keras, terutama gerakan Wahabi. Meski kalah, namun kelompok ini akan terus melakukan manuver untuk medelegitimasi dan melemahkan kekuasaan Ahok sebagaimana yang mereka lakukan selama ini.

Dalam kondisi demikian, Ahok akan cari teman untuk menghadapi kelompok Islam politik garis keras ini, dan pilihan itu pasti akan jatuh ke NU, karena selain ada kedekatan sosial juga kedekatan emosional dan kultural.

Sebagai pemimpin yang double minoritas (cina dan monmuslim), dia akan cari teman yang berpikiran moderat nasionalis, dan itu pasti juga polihannya jatuh ke NU. Ini artinya NU akan.mendapat posisi strategis dalam kekuasaan Ahok.

Ini hanya sekadar othak athik gathuk sebagai bahan perenungan bagi warga nahdliyin Jakarta saja. Monggo dipikir yang jernih demi kelangsungan Islam Aswaja an-Nahdliyah dari rongrongan Islam radikal wahabi yang sudah masuk dalam arena politik. 

Memang di kubu AHY dan Anis ada juga tokoh-tokoh moderat seperti Ulil, BW, Anis sendiri dan sejenisnya. Mereka bisa menghadapi gerakan Islam puritan formal, tapi itu tidak memiliki makna politik bagi NU.

Sekali lagi, ini hanya othak athik gathuk, segala kemungkinan bisa terjadi karena realitas politik tidak sesederhana status medsos atau ceramah para ustadz dan habaib. Di atas semua analisis, yang berlaku adalah skenario Tuhan. 

Oleh karena itu, sambil menyusun harapan, ada baiknya bersiap diri menerima apapun skenario Tuhan. Jangan sampai kita geger dan berisik melulu karena ternyata skenario dan ketetapan Tuhan tidak sesuai harapan. [dutaislam.com/ab]

Zastrow Al Ngatawi, Satrio Lelono alias Pengamen Jalanan

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB