Karena Manusia Masih Ingin Selfie, Ia Tak Mau Bunuh Diri
Cari Berita

Advertisement

Karena Manusia Masih Ingin Selfie, Ia Tak Mau Bunuh Diri

Senin, 20 Februari 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

DutaIslam.Com - Awalnya manusia berada pada alam keheningan di kandungan atau rahim. Lalu tangisnya merobek udara. Tangisannya adalah pertanda ia normal adanya. Tangisan yang terdengar berisik, disambut tawa oleh lingkungannya. Karena tangisnya adalah tangis kebahagiaan. Bukan tangis kedukaan.

Seiring tumbuhnya menjadi dewasa, manusia akan selalu merindukan ruang hening tersebut. Dan ini adalah kebutuhannya yang merupakan sifat bawaan, kebutuhan yang fitri, sesuai fitrahnya. Maka kemudian ada ritual-ritual tertentu untuk menghadirkan keheningan bagi manusia. 

Karena keheningan memang kebutuhan yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Jika ia melupakan kebutuhan ini, akan ada gangguan pada pribadinya. Karena sejak asal mula, dan kelak kembalinya, manusia akan memeluk keheningan. Kita tidak lahir dan mati secara bersama sama, serupa masuk pasar malam, kata Pram dalam romannya, Bukan Pasar Malam.

Ketika budaya baca, yang menuntut kesediaan berkawan dengan keheningan, belum kuat di tanah air, kita sudah diserbu oleh budaya menonton. Akibatnya teks dan aksara belum kuat membudaya. Masih kalah dengan tontonan yang sifatnya audio visual. 

Tak heran jika banyak kalangan mengeluhkan harga buku, namun tak pernah mengeluh dengan harga tiket bioskop XXI yang selalu ramai di akhir pekan. Ini bukan persoalan harga, ini persoalan cinta dan apresiasi kita akan teks. 

Berkawan dengan teks menuntut kita meluangkan waktu dalam keheningan, dan ini bisa jadi siksaan yang paling pahit bagi sebagian orang. Maka wisuda menjadi ajang suka cita untuk menyatakan perceraian dengan teks. Bebas dari tugas membaca dan bebas dari paksaan berkawan dengan keheningan.

Kini, keheningan semakin terpinggirkan. Ketika segala hal harus diumbar dalam ruang publik yang bernama sosial media. Kita juga menjadi gamang membedakan mana wilayah privat dan mana wilayah publik. 

Sosial media seolah wilayah privat kita, padahal ia ruang publik yang sangat terbuka. Benar sekali tesis John Gray, bumi telah bertransformasi menjadi venus. Semua orang ingin agar dirinya diperhatikan, lengkap dengan segala aktivitas dan atributnya.

Andai Albert Camus masih hidup, ia tak perlu bingung lagi mempertanyakan kenapa manusia tidak memilih bunuh diri, karena jawabannya kini sudah jelas, manusia masih ingin hidup, karena manusia masih ingin selfie. Sayang Camus melewatkan caravan massal sosial media ini. 

Ruang-ruang privat seolah memang telah hilang di era sosial media ini, bahkan ruang ibadah yang bisa berpotensi menjadi wilayah keheningan, juga tak luput menjadi ajang mengekspresikan diri dan kegiatan. 

Ibadah yang merupakan wilayah privat kita dan Tuhan, tiba-tiba menjadi wilayah publik yang diekspresikan secara luar biasa. Tak lagi ada keheningan, kesyahduan di sana. Semuanya harus diumbar dan diinformasikan ke publik.

Maka dimanakah ruang keheningan tersisa dalam hidup kita? Akankah kita akan menghilangkan semuanya. Dan baru saat terbaring berkalang tanah kita kembali memeluk keheningan? Entahlah. 

Tapi yang pasti, keheningan adalah ruang yang hilang. Dan semakin kencang modernitas menggiring manusia melupakan keheningan, maka akan semakin cepat pula gangguan "kejiwaan" akan kita saksisan dimana mana dalam ragam ekspresi yang beraneka warna. [dutaislam.com/ ab]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB