Belajar dari Gus Dur yang Berprinsip "Politik Adalah Seni Mengelola Kebencian"
Cari Berita

Advertisement

Belajar dari Gus Dur yang Berprinsip "Politik Adalah Seni Mengelola Kebencian"

Jumat, 10 Februari 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Ari Rahman El Halimi

DutaIslam.Com - Sejak bergulirnya kasus penodaan agama, kehidupan masyarakat yang awalnya tenteram, damai, dan rukun telah terganggu dengan sejumlah informasi yang beredar jauh dari nilai-nilai yang positif dan berkeadaban. Pembunuhan karakter seolah menjadi hal yang harus dilakukan untuk menghancurkan rival politiknya. Rivalitas itu amat terasa hingga ke sendi-sendi kehidupan masyarakat akhir-akhir ini.  Belum lagi peristiwa lapor-melapor yang belakangan terjadi. Karenanya, dalam situasi seperti ini kita butuh sosok seperti Gus Dur.

puncaknya terlihat ketika membuminya kasus Ahok ke berbagai daerah di Indonesia. Mulai dari perbenturan ideologi sampai pada aksi-aksi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat di seantero tanah air. Hal itu semakin menguat dengan terus disuarakannya kasus penodaan agama hingga ke luar daerah oleh sejumlah pihak yang kerap menjadi perhatian publik.

Politik Ala Gus Dur
Belakangan, beberapa tahun terakhir ini saya melihat bahwa fenomena perbedaan dukungan masing-masing calon tidak diletakkan dalam konteks kontestasi. Tetapi lebih mengarah kepada permusuhan yang berakibat pada kebencian. Hal inilah yang membuat penelanjangan aib yang habis-habisan baik secara narasi, diksi, dan argumentasi. Oleh sebab itu, izinkan saya untuk meminjam istilah almarhum mendiang KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke-4 Indonesia. Beliau berpendapat, bahwa “Politik ialah seni mengelola kebencian”.

Dalam berpolitik, kebencian di dasar hati harus senantiasa diolah agar tidak terjadi konflik. Untuk itu, Gus Dur telah mengajarkan itu jauh dari kita sadari peristiwa yang terjadi saat ini. Lebih dari itu, beliau juga benar-benar mengajarkan bahwa politik itu bukan hanya sekadar seni (art). Karena, ada nilai-nilai sufistik yang jarang sekali orang ketahui bahwa kebencian dapat mengotori hati. Itulah mengapa Gus Dur berpendapat bahwa politik ialah seni mengelola kebencian. Cerdas sekali bukan?

Hal serupa ia lakukan terhadap Presiden Soeharto sebagai Presiden ke-2 Indonesia. Saat itu, Gus Dur mendapat telepon dari seseorang bahwa ia ingin dibunuh oleh Soeharto. Tetapi, Gus Dur dengan santai menjawab “Masa iya pak Soeharto mau membunuh saya”.

Akhirnya, hal itu tidak pernah terjadi sampai akhirnya Pak Soeharto menghembuskan nafas terakhirnya. Ia mengatakan, “Bahwa orang yang bisa membuat saya benci ialah pak Soeharto, itu pun pada saat Hari Raya saya masih berkunjung ke rumahnya untuk bersilaturahmi dan ngopi-ngopi”.

Selain itu, tentu kita masih ingat, saat Gus Dur ketika dipaksa lengser dari jabatanya sebagai Presiden. Ia  keluar dari istana dengan bercelana pendek. Banyak pihak yang menilai bahwa tindakan Gus Dur itu telah mencoreng nama baiknya sebagai Presiden. Meskipun ia ingin lengser saat itu juga. Tetapi, menurut pandanganya, itulah yang hilang dari kita. Substansi. Bahwa Presiden bukan hanya dilihat dari pakaiannya. Namun dari integritas yang ada di dalam dirinya.

Itu Berarti kedewasaan Gus Dur dalam berpolitik sangat tidak diragukan. Dari pendapatnya tersebut, setidaknya kita mengerti bahwa kedewasaan dalam berpolitik sangat dibutuhkan demi menyelamatkan demokrasi kita hari ini yang sedang bergolak dengan sejumlah isu yang mencuat. Gus Dur telah mengajarkan itu dari jauh-jauh hari tanpa kita sadari.

Karenanya, sosok Gus Dur harus senantiasa ada dalam nafas demokrasi Bangsa-Negara Indonesia. Dengan sosoknya yang santai, humoris, dan sederhana ia dapat mencairkan segala suasana. Pun dalam situasi yang sangat genting sekali pun. Rasanya, kita butuh sedikit penyegaran untuk merefleksikan bangsa dan diri kita dari kekakuan dalam berpolitik selama ini. Dalam situasi seperti sekarang ini, saya yakin, bahwa kita sedang merindukan sosok Gus Dur.

Aroma Kebencian
Kembali kepada Pilkada, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta hampir serupa sengitnya dengan Pilpres tahun 2014 lalu. Bahkan ada yang beranggapan bahwa Pilkada DKI Jakarta sama halnya dengan pemilihan Presiden. Pada saat Pilpres 2014 lalu, banyak informasi yang beredar tentang isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).

Kita tahu, bahwa isu itu sangat sensitif dan berpotensi merusak kehidupan masyarakat. Bahkan yang lebih ironisnya, hanya karena perbedaan dukungan, satu keluarga saling bertengkar hingga tak bertegur sapa kala itu.

Tentu kita masih ingat, masifnya isu SARA yang ditujukan oleh Presiden Joko Widodo Saat itu terbilang di luar batas normal. Pasalnya, lewat buku yang berjudul “Jokowi Undercover” yang ditulis oleh Bambang Tri Mulyono, Presiden dituduh memalsukan identitas dirinya untuk mencalonkan diri sebagai Presiden pada tahun 2014.

Tak hanya itu, dalam buku itu juga dijelaskan bahwa Presiden Joko Widodo dituduh sebagai PKI yang menyembunyikan identitas ibu kandungnya. Ironisnya, buku tersebut ditulis oleh seorang yang kadar intelektualitasnya sangat diragukan. Selain itu, informasi tentang ke-otentikan data dalam buku tersebut juga dinilai palsu.

Hal ini diperkuat oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Rikwanto. Ia mengungkapkan, bahwa buku “Jokowi Undercover” hanya berisi sangkaan dari penulis. Dalam penulisanya itu, sama sekali tidak diperkuat oleh dokumen pendukung yang terkait dengan pemalsuan data bapak Presiden saat menyerahkan dokumen ke KPU Pusat. Itu berarti, bahwa isu SARA saat itu sangat masif dan mengerikan.

Rupanya, dalam pertarungan Pilkada DKI Jakarta kasus itu kembali terulang. Namun Kali ini berbeda, Ahok yang menjadi sasarannya sebagai calon Gubernur nomor urut dua. Ia tersandung oleh kasus penistaan agama. Bahkan, tekanannya lebih masif daripada Pilpres tahun 2014 lalu. Sebab, ditunggangi oleh aktor-aktor ternama yang sudah tidak asing lagi. Seolah-olah ini menjadi saat yang tepat untuk membalas kekalahan pada Pilpres 2014 yang lalu.

Di sisi lain, dari beberapa kasus penodaan agama yang sudah-sudah. Terkesan hanya kasus Ahok yang begitu luar biasa menguras energi publik dan aparat penegak hukum. Berbeda dengan kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Lia Aminuddin (Lia Eden), Arswendo Atmowiloto, Musadek, Permadi, HB. Jassin dan lain sebagainya.

Kasus Ahok terkesan berlarut-larut dan penuh dengan nuansa politis. Apa karena ia mencalonkan diri sebagai Gubernur, lalu ini menjadi makanan empuk bagi para lawan politiknya? Entahlah, yang jelas, kasus ini sudah di luar batas normal serta merusak kerukunan masyarakat Indonesia.

Maka dari itu, kerukunan antarumat beragama harus tetap terjaga untuk menghindari perpecahan yang tidak diinginkan. Lebih dari itu, kebencian hanyalah membuat kegaduhan dan memecah-belah bangsa menjadi berkubu-kubu.

Dalam kondisi seperti ini, lembaga-lembaga yang masih netral harus tetap terjaga kenetralannya. Sebab, banyak lembaga yang mengaku netral namun tidak demikian. Jangan semua mendadak jadi pahlawan untuk membela mana yang benar dan mana yang salah. Dalam hal ini harus ada kekuatan yang dapat merelaksasi seluruh elemen masyarakat untuk menjadi penyejuk suasana. Setidaknya, dalam tulisan ini sosok Gus Dur sedikit melegakan nafas kita yang cukup sesak selama ini. [dutaislam.com/ ab]

Ari Rahman El Halimi, Researcher at MMS (Moderate Muslim Society)

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB