Belum Lulus Jadi Manusia Belajar Agama, Itu Mbokneancok!
Cari Berita

Advertisement

Belum Lulus Jadi Manusia Belajar Agama, Itu Mbokneancok!

Sabtu, 07 Januari 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

DutaIslam.Com - Yo wis lah, anggap saja Basuki itu penista agama. Silakan ngamuk, njerit sampek ususmu metu. Yang penting ojok kebablasan. Kalau kebencianmu pada seseorang sudah menguasaimu maka pikiran dadi nggak cerdas, rai tambah welek.

Sekarang banyak orang yang gayane koyok wong sakti. Bisa mendeteksi  atau tahu niat yang ada di dalam hati orang lain. Ada orang nangis dituduh air mata buaya. Senengane kok berprasangka buruk.
Ada Kiai mbelani Basuki, langsung dipertanyakan keislamannya. "Wong Islam kok mbelani penista agama Islam?". Pokoknya yang beda dengannya langsung dicap Anti Islam. Beda kok nggak boleh. Mbelani menungso dituduh mbelani cino, kristen.

Jadi ingat Gus Dur yang membela siapa saja, nggak melihat ras, suku atau agamanya. Tapi orang selalu berprasangka, selalu melihat agamanya, rasnya, sukunya, akhirnya menuduh Gus Dur pluralisme, padahal humanisme. Banyak muslim yang gagal jadi muslim karena hal itu. Karena muslim itu menjaga, melindungi, menentramkan sesama manusia, tidak mengancam, menghina, merendahkan, hanya karena beda agama, suku dan ras.

Sudah hobinya berprasangka buruk ditambah kesempitan hati dan pikiran pula. Dapat bantuan handuk ada gambar (seperti) salib, ditolak, dituduh kristenisasi (prasangka buruk lagi). Padahal salib iku cuman kayu disilang. Bagi orang Kristen, itu simbol agama. Tapi bagiku ya cuman garis atau kayu disilang, tak berarti apa-apa. Kalo aku dikasih handuk gratis, nggak perduli gambar salib atau gambar setan, akan senang hati kuterima.

Muslim atau non muslim tidak bisa dilihat dari kostumnya. Semua tergantung pada niat. Walaupun pakai kaos metal gambare pentagram, ndas wedus, bukan berarti Satanisme. Apa kalau pakai kaos gambar Jack Daniel's terus dia adalah pemabuk? Nggak juga. Jangankan mabuk, minum Equil saja nggak berani. Pakai atribut agama lain (kostum natal) difatwa haram. Terus bagaimana dengan non muslim di Aceh yang dipaksa pakai jilbab? Golek menange dewe ae arek-arek iku.

Umat Islam di negeri ini berkembang pesat, tapi hanya di wilayah syariat teknis. Buanyak orang jilbaban, berbaju taqwa, tapi pemahamannya kolot, gampang ngamuk, gampang diprovokasi (atas nama Islam). Apalagi ulamanya yang sedikit-sedikit haram, haram kok sedikit-sedikit.

---Jare simbah, di negeri yang mayoritas muslim ini harusnya label yang diperlukan adalah label haram. Seorang muslim otomatis akan selalu mengkonsumsi makanan yang halal. Kalau di Amrik sana mayoritas non muslim, mereka biasa mengkomsumsi makanan apa saja, jadi perlu label halal---

Jadi ingat saat gempa bumi Jogja dulu. Banyak yang menolak bantuan selimut dari Israel, karena mereka kolot: Israel itu Yahudi, musuh Islam. Padahal musuh Islam yg sesungguhnya itu bukan Yahudi, Kristen, Cino, tapi kesempitan, kesempitan pikiran maupun hati, gemblung total.

Orang yang luas hati dan pikirannya, menyikapi sesuatu dengan prasangka baik (walau saat tertentu waspada itu juga perlu). Dan juga nggak gampang 'masuk angin', gampang disetir, gampang dibelokan dgn ideologi-ideologi kacau.

Menolak bantuan handuk dari Yahudi, tapi lupa kalau tiap hari 'dibantu' Yahudi. Dengan fesbuk kita bisa dengan mudah berkomunikasi dan silaturahmi jarak jauh. Bisa ketemu teman lama saat masih PAUD, reuni. Dan yang asyik kita bisa cari uang, promosi bisnis. Tapi dengan fasebook pula kita jadi 'bintang porno'. Apa pun kita share di tembok ratapan (wall) tanpa filter, walaupun itu hal yang pribadi banget. Update status dari bangun pagi sampai menjelang tidur, artis medsos. Kecanduan medsos produktivitas pun merongos

Facebook pula yang membuat kita terbiasa jadi pengecut, kurang ajar, mbokneancok, beraninya teriak di Medsos. Arek cilik komen nang statusku: "Kamu waras?". Dengan rileksnya meng-kamu-kamu-kan orang, dikira umurnya sepantaran.

Masjid atau bukan masjid itu tergantung pada niatnya ke kiblat atau nggak, ke Allah atau nggak. Walaupun di sawah kalau hati ke kiblat, sawah akan jadi masjid. Semua tergantung pada niat dan tujuan. Tapi yo ojok korupsi terus niate buat umroh, iku mbokneancok jenenge.

Nggak sedikit ustadz yang mengondisikan Islam sekarang seperti Islam jamannya Nabi di Arab jadul. Yang saat itu antar umat agama (Yahudi, Nasrani dan Islam) saling 'mengintai'. Oke, bisa jadi di Arab sekarang kondisinya masih seperti itu, tapi tidak di negeri ini. Jarno ae wong Arab perang terus, diadudomba sama Amrik. Di sini gak usah ikut-ikutan.

Sebelum kemunculan aliran-aliran keras, negeri ini sangat suwejuk dan damai. Oleh mereka, kearifan lokal ditabrakan dengan agama. Orang yang memdalami Jawa dituduh kejawen, musyrik! Siapa bilang Jawa itu tidak Islam?

Kearifan Jawa sama dengan nilai-nilai Islam. 'Ngunduh wohing pakarti' itu sama dengan 'Faman ya'mal mitsqaala dzaratin khairay yarah..' (intinya, semua perbuatan pasti ada balasannya), dan banyak lagi contohnya, golekono dewe. Kearifan lokal Jawa sudah terbukti keluhurannya dan Islam datang melegetimasi itu.

Dengan kearifan lokal itulah orang Nusantara lama banyak yang lulus jadi manusia; waskita. Bisa hidup rukun dalam harmoni dengan berbagai macam manusia, jin, gendruwo, wewe gombel. Orang sekarang belum lulus jadi manusia sudah belajar agama.

Ormas-Ormas Islam itu sebenarnya tujuannya baik, memerangi kemasyiatan. Tapi banyak yang nggak simpati karena caranya yang terlalu keras, main pentung. Merusak citra Islam yang lembut dan damai. Dakwah pada orang lain harusnya lemah lembut, yang keras itu pada diri sendiri. Juga, orang 'tersesat' kok malah dipentungi, tidak ditunjukan jalan yang benar.

Salutnya pada ormas-ormas itu, mereka selalu turun tangan terjun langsung ke musibah bencana. Itu keren, tapi lebih keren lagi kalau tidak pakai label, cap, merk, atribut, kostum, seragam. Mau berbuat baik, berbuat saja, nggak pakai nama agama, nama partai, nama organisasi, dsb.. Just hamba Tuhan.
Maka saya setuju banget kalau para stasiun tipi menolak memberitakan sukarelawan bencana yang memakai atribut partai atau ormas.

Tetap semua kembali pada niat. Kegiatan amal diposting di Facebook niatnya ingin menginspirasi orang agar berbuat serupa, itu oke. Yang penting tidak untuk pencitraan. Karena pencitraan = pemalsuan = kriminal = mbokneancok (motherfucker).

Muslim sejati tidak memamerkan perbuatan baiknya, atau berbuat baik jangan sampai orang lain tahu. Atau kalau sudah level sufi, jangan sampai Tuhan tahu kalau kita berbuat baik (walau itu nggak mungkin), total ikhlas.

Aku nggedabrus iki tidak dalam rangka menertawai kekonyolan saudara semuslim, seperti lalat yang berpesta di atas borok orang lain. Aku nggak anti tokoh tertentu, nggak anti ormas itu, nggak kabeh.
Sebenarnya kita ini sama kok. Jawa, Arab, Islam, Kristen, aku, kalian, Basuki, Habib, Joko, Mbah Ndimun, Slamet, Ormas garis keras, semuanya sama, sama-sama bingung aja.

Kalau nggak ingin bingung, jadi Atheis saja, karena mereka sudah berhenti mencari kebenaran agama (Tuhan).  Sekarang manusia hidup di era katanya, jarene. Jarene ulama iku, jarene kiai iki. Kalau muslim, kebenaran itu ada di Al Qur'an, Rasulullah (Qur'an berjalan) dan Allah. Kalau hadits masih boleh dikritisi. Omongan ulama, ustadz, kiai itu bukan kebenaran, itu tafsir. Jangankan ulamamu, Bukhari Muslim pun boleh dikritisi.

---Percoyo karepmu, gak percoyo urusanmu, karena tulisan ini juga bukan kebenaran---

Makane ojok nggaya dengan madzhabmu, aliranmu, nuding-nuding "sesat!", membakar rumah dan mengusir dari tanahnya sendiri pada orang yang nggk sealiran denganmu. Sama persis dengan muslim Ronghiya yang dibantai, diusir dari negerinya karena minoritas dan berbeda keyakinan. Kelakuan rakyat Burma adalah gambaran diri mereka yang demi agama tega membunuh, padahal kalau demi manusia nggak akan tega. Wis ah, ideologi itu damai, tapi sejarah itu kejam! [dutaislam.com/ ab]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB