Mengapa Setelah Merdeka Ulama Tidak Mendirikan Negara Islam?
Cari Berita

Advertisement

Mengapa Setelah Merdeka Ulama Tidak Mendirikan Negara Islam?

Kamis, 10 November 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
bentuk negara setelah merdeka

DutaIslam.Com - Ada baiknya kita merenungi lagi apa yang sudah dicapai oleh para penggagas dan pendiri bangsa. Saya tertarik menulis sebuah alasan yang dikemukakan oleh ulama pendiri bangsa atas pertanyaan mengapa para ulama tidak bersepakat mendirikan Negara Islam?

Dalam bahtsul masail yang dibahas oleh NU di tahun 1935 atas pertanyaan wajibkah bagi kaum muslimin mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia Belanda (Indonesia sekarang) padahal diperintah oleh non-muslim? Muktamirin sepakat menjawab wajib hukumnya. Sebab pertama karena muslim bebas menjalankan ajaran agama Islam. Sebab kedua, karena daerah ini pernah berdiri kerajaan Islam. 

Alasan tersebut diambil dari kitab Bughyah Mustarsyidin. Dari sini dapat diketahui bahwa sikap ulama NU ini didasari atas kemaslahatan dan stabilitas masyarakat agar ajaran Islam ini tetap dilaksanakan tanpa kekhawatiran akan perlawanan penjajah. Prinsip "Daf'udh Dhoroir" atau mencegah hal yang membahayakan yaitu pemberangusan ajaran Islam oleh penjajah rupanya jadi alasan utama.

Lalu ketika sudah merdeka, pemimpin pun beragama Islam, lantas mengapa para ulama masih tidak bersepakat untuk mendirikan Negara Islam? Ini disebabkan heterogenitas yang amat tinggi dalam masyarakat Indonesia, sementara dalam kenyataannya Islam tidak memiliki ajaran formal yang baku mengenai Negara, yang ada adalah tanggung jawab tiap kaum muslim untuk melaksanakan syariat Islam. 

Syariat dan ajaran Islam menurut para ulama NU adalah tanggung jawab moral masyarakat untuk menghidupkannya di tengah masyarakat yang majemuk dan tidak bisa dibebankan kepada Negara yang juga dituntut prinsip berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang masyarakatnya majemuk yang menjamin kebebasan beragama.

Ada antitesis mengenai keputusan NU tersebut yang mendasarkan surat Al Maidah 44, 45 dan 47, yang intinya bahwa orang yang tidak berhukum sesuai dengan apa yang diturunkan Tuhan maka termasuk kafir. Namun pendapat itu rupanya mengisolasi lahiriyah ayat dari konteksnya. 

Disebut bahwa ayat tersebut adalah kritik yang ditujukan pada kaum Yahudi dan Nashrani yang suka mengubah-ubah isi kitab suci sehingga hukum yang mereka tetapkan tidak punya dasar yang pasti di sisi Tuhan sebab nafsu duniawi telah menguasai pemuka agamanya.

Dengan demikian, subyek yang dikritik ayat-ayat tersebut bukan umat Kanjeng Nabi Muhammad SAW, yaitu umat muslim dan mukmin. Ini sesuai hadits yang menyebutkan bahwa jamaah umat Islam tidak akan bersepakat dalam kebatilan. 

Jika Negara Indonesia disebut negara thoghut atau negara kafir, maka sama saja menyebut para ulama, pendiri bangsa yang beragama Islam dan umat muslim seluruh dunia yang mengakui kedaulatan NKRI itu bersepakat dalam kebatilan. Sangat menistakan agama bukan?

Maka kita patut bersyukur mbah, dikaruniai anugerah berupa bangsa yang para pendirinya merupakan para pemimpin yang bijaksana, visioner dan mengerti betul keadaan masyarakatnya. Sebagai rasa syukur, patutlah kita memperingati Hari Pahlawan yang diniatkan sebagai rasa terima kasih kepada para pendiri bangsa. 

Semoga rasa syukur itu menjadi tawassul bil amal sehingga NKRI dijadikan sebagai baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Aamiin. [dutaislam.com/ ab]
Source: Tim Sarkub di sarkub.com
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB