Menakar Iman Kita Pasca Ahok Jadi Tersangka
Cari Berita

Advertisement

Menakar Iman Kita Pasca Ahok Jadi Tersangka

Kamis, 17 November 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (kanan) didampingi calon Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat (kiri) dan tim pemenangannya memberikan keterangan terkait penetapan sebagai tersangka di Rumah Lembang, Jakarta, Rabu (16/11). [Antara Foto/ Hafidz Mubarak A]
Oleh Hifdzil Alim

DutaIslam.Com - Sebelumnya, saya perlu menegaskan terlebih dahulu posisi saya dalam tulisan ini. Saya tidak sedang mewakili pendukung Ahok. Begitu juga saya tidak sedang menjadi juru bicara kelompok penentang Ahok. Saya sedang merepresentasi tujuan hukum dan bagaimana seharusnya hukum bekerja untuk menjaga kepastian, menggapai keadilan, dan menciptakan kemaslahatan.

Setelah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polri karena diduga melanggar Pasal 156a KUHP jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ada empat hal yang mesti dilakukan oleh pendukung dan penentang Ahok agar tujuan hukum dapat dicapai.

Pertama, hormatilah proses hukum. Dalam sistem peradilan pidana, yang juga sama kita ketahui, proses selanjutnya setelah penetapan seseorang sebagai tersangka adalah membuat terang kasus pidananya. Kepolisian harus menentukan minimal dua alat bukti yang menguatkan sangkaannya. Penyelidikan membutuhkan waktu di sini.

Biarkanlah polisi bekerja sesuai dengan koridor sistem hukum yang berlaku, sembari tetap memberikan pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam porsi yang semestinya. Dalam kasus a quo, kita telah memilih kepolisian sebagai lembaga yang berwenang memeriksa. Kita juga sama paham, kepolisian tak lepas dari beberapa catatan buruk. Namun, jangan sampai hal ini menumbuhkan ketidakpercayaan kita atas investigasi perkara Ahok.

Tuduhan bahwa ada potensi kepolisian sedang main mata, misalnya, mungkin saja berasal dari pendukung maupun penentang Ahok hanya akan membuat keduanya berada dalam ruang vis a vis. Kepolisian versus pendukung atau penentang Ahok.

Jika demikian adanya, percayalah, tujuan penyidikan untuk membuat terang kasus pidananya tak akan berhasil didapatkan. Sebab, kepolisian akan sibuk dengan sesuatu di luar teknis investigasi. Dan ini sangat merugikan.

Kedua, jagalah situasi dan kondisi agar tetap aman dan damai. Pada fase ini, seyogianya semua pihak tetap tenang dan tidak memperkeruh suasana. Sepatutnya tak boleh ada anasir provokatif yang dilontarkan ke masyarakat, baik secara offline maupun online oleh protagonis maupun antagonis Ahok.

Kita sedang bicara soal hukum, bukan menyoal suka atau tidak suka, like or dislike, kepada Ahok. Dalam bahasa hukum progresif, hukum harus memperhatikan dan bekerja bagi masyarakat. Pada ruang ini, saat ini, ada kepentingan masyarakat yang pro Ahok dan anti Ahok. Ada interest penyokong Ahok dan oponen Ahok. Ada opini tesis Ahok dan antitesis Ahok. Idealnya, hukum harus merangkul kedua kutub yang saling berlawanan tersebut.

Akan tetapi, dalam ruang yang semakin sempit karena dihimpit oleh dua klik kepentingan, mengharapkan hukum merangkul keduanya secara bersama niscaya bakal menemukan jalan buntu. Oleh karena itu, saat ini, hukum -dalam arti teknis penegakan hukum- harus berdiri pada kakinya sendiri. Hukum, pada ruang ini, sekali lagi, khusus pada ruang ini, perlu menggunakan “kaca mata kuda”. Sehingga, penyidikan kasus a quo berjalan sesuai dengan sistem dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketiga, lapangkanlah hati dan menjauhlah dari kepentingan kekuasaan. Diakui atau tidak, ada tangan kekuasaan yang tak tampak (invisible hand), yang berasal dari gelombang barisan Ahok dan pendemo Ahok, yang ikut memainkan peran penting dalam kasus Ahok. Memang, segmen tangan kekuasaan ini susah -atau membutuhkan waktu dan tenaga yang sangat besar- jika ingin dibuktikan. Namun, percayalah, jika terus mengarus pada dua gelombang ini, maka konsentrasi untuk mengawal kinerja kepolisian dalam membuat terang perkara ini akan terbelah. Kecuali ada tujuan lain yang tidak sudi proses hukum berjalan pada koridornya.

Saya berasumsi, para pendukung Ahok telah legowo idolanya ditetapkan sebagai tersangka melalui gelar perkara terbuka-terbatas setelah Badan Reserse Kriminal Mabes Polri memeriksa 14 laporan, 29 saksi, 9 ahli pidana, 15 ahli agama, 10 ahli bahasa, dan 5 ahli lainnya. Dalam garis lurus, semestinya para penentang Ahok juga lapang hati dan memberikan kesempatan bagi kepolisian menjalankan tugas dan kewenangannya. Lapang hati dan menjauh dari arus kepentingan kekuasaan adalah dua syarat yang diperlukan agar dapat melihat pemeriksaan kasus ini dengan seksama.

Terakhir, kembalilah ke konsensus yang telah disepakati bersama. Negara ini adalah negara hukum. Dan kita semua menyepakatinya. “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”, begitu bunyi konsensus kita dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Kita menuntut negara supaya menghormati hak hukum kita, dan sekarang kita juga harus menghormati hak negara untuk menjalankan hukum yang disepakati melalui alat negaranya.

Saya yakin, kita semua mencintai negeri ini. Biarlah bentuk kecintaan itu mengalir melalui penghormatan atas proses hukum yang saat ini berlangsung terhadap Ahok. Lagi pula, bukankah hubbul wathon minal iman, mencintai Negara Indonesia adalah sebagian dari iman. Dan sekaranglah, salah satu waktu yang tepat, untuk menunjukkan sebagian keimanan itu. [dutaislam.com/ ab]

Source: http://geotimes.co.id/
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB