Transformasi Gagasan Generasi Digital
Cari Berita

Advertisement

Transformasi Gagasan Generasi Digital

Senin, 15 Agustus 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

DutaIslam.Com – Berita tentang raksasa Yahoo yang dibeli 'perusahaan swasta' dengan harga yang cukup murah menyebar dengan cepat lewat sosial media ke seantero jagad. Siapa yang menyangka raksasa IT yang sedemikian digdaya bisa runtuh dominasinya dalam kurun waktu satu dekade terakhir.

Dalam analisa yang dikemukakan oleh para ahli Yahoo dianggap terlambat melakukan inovasi dan antisipasi perkembangan dunia teknologi informasi. Google, Facebook dan sejumlah start up lainnya kala itu secara cerdas mampu memanfaatkan kenyamanan Yahoo dan menciptakan niche mereka sendiri.

Kasus mirip Yahoo itu ternyata sering terjadi di dunia industri lainnya. Beberapa perusahaan elektronik dan telekomunikasi juga tidak luput dari kolaps dan akhirnya dijual. Dari sini pertanyaan yang sering menggelinding kemudian, apakah Yahoo tidak mampu melakukan inovasi sama sekali sehingga terlambat bangkit. Yahoo bukannya sama sekali tidak melakukan inovasi di sini, beberapa fitur baru telah diperkenalkan ke publik sebagai nafas perusahaan. Namun citra negatif publik terhadap perusahaan ini nampaknya tidak terbendung.

Di waktu yang bersamaan negara ini sedang mencanangkan Gerakan Inovasi Nasional yang di prakarsai oleh Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Ini menjadi menarik karena inovasi yang selama ini seakan menjadi domain swasta dan dunia industri dipaksa hadir menjadi nafas birokrasi. 

Inovasi dalam dunia birokrasi tentu tak mudah, sekian ketatnya aturan administrasi dan kasus hukum yang mengemuka seakan mengikat kelenturan gagasan. Untuk itu, dibutuhkan keberanian dan kecermatan dalam mengeksekusi setiap ide perubahan sehingga tidak terjebak menjadi korban peraturan.

Presiden Jokowi pun tidak ketinggalan memberikan komentar terkait inovasi ini. Dalam pandangan Presiden Jokowi, Korea Selatan adalah negara yang secara konsisten melakukan inovasi. Ketertinggalan Indonesia karena inkonsistensi dalam bekerja keras, berpikir rasional, dan berpandangan positif. Dalam konteks ini, untuk bekerja produktif dan bekerja dengan inovasi-inovasi yang baik, kita selalu terjebak pada seringnya membesar-besarkan masalah, berpikir yang tidak produktif, selalu menjelekkan orang lain, serta gampang sekali mencemooh yang lain. 

Sadar atau tidak, inilah kelemahan mendasar pengelolaan bangsa Indonesia. Khususnya, minimnya kreativitas dan kurangnya konsistensi yang menjadi tantangan birokrasi. Di sisi lain, jebakan syndrom kepiting masih dominan di kalangan anak bangsa. Syndrom kepiting ini memiliki ciri utama kita susah sekali melihat orang lain sukses bahkan berebutan untuk menjatuhkannya kembali. Jika ada yang berhasil, bukannya kita semakin mendukung ide dan gagasan tersebut, akan tetapi terjebak hiruk pikuk yang kontraproduktif.

Konsep inovasi bangsa yang berdaya saing sebenarnya sudah sering diperkenalkan oleh para pemikir, yakni konsep Tripple Helix. Triple Helix merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebutkan peran serta dan kerja sama tiga elemen pembangunan yaitu pemerintah, pengusaha, dan kaum intelektual. 

Sebagai konsep, gagasan utama Triple Helix adalah sinergi kekuatan antara akademisi, bisnis, dan pemerintah. Namun konsep ini masih menyisakan catatan terkait partisipasi publik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembangunan. Selama ini, rakyat diposisikan sebagai objek pembangunan bukan subjek. 

Pembangunan partisipatif lebih memposisikan masyarakat sebagai subyek atas program pembangunan yang difokuskan bagi kepentingan mereka sendiri. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan ini, dimulai proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi. Pendek kata jangan meninggalkan keterlibatan rakyat dalam setiap tahapannya.

Partisipasi publik sebagai sebuah madzhab pembangunan haruslah ditekankan betul dalam setiap pengambilan kebijakan. Dengan memposisikan rakyat sebagai subjek pembangunan, kita optimis bahwa daya tahan negara ini akan cukup menghadapi persaingan global. Rasa memiliki akan negara ini telah terbukti menjadi kekuatan Indonesia dalam menghadapi resesi ekonomi yang melanda tahun 1998. Pada waktu itu, ekonomi kaki lima justru tumbuh, sementara banyak perusahaan besar bergelimpangan sebagai dampak sistemik krisis ekonomi. Sistem ekonomi kerakyatan menjadi tulang punggung perekonomian negara.

Menjelang peringatan kemerdekaan, 17 Agustus ini nampaknya jadi momentum tepat bagi anak bangsa untuk semakin mawas diri dan konsisten dalam berinovasi sekaligus memompa partisipasi aktif anak negeri menuju Indonesia yang lebih baik. Jangan kecewakan para pendahulu kita yang telah merumuskan butir-butir kebijaksanaan negara, sebagaimana Bung Hatta dulu dengan lantang pernah mengungkapkan: “Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri."

Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta. Jangan mengharapkan bangsa lain respek terhadap bangsa ini, bila kita sendiri gemar memperdaya sesama saudara sebangsa, merusak dan mencuri kekayaan Ibu Pertiwi.

Untuk itu, warga negeri ini, khususnya generasi muda harus mampu menggunakan teknologi sebagai perangkat perubahan. Teknologi sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Perkembangan teknologi harus mampu menjadikan manusia Indonesia menjadi pemain utama, sebagai produsen gagasan dan eksekusinya. 

Transformasi teknologi haruslah dijadikan sebagai penguatan potensi, sumber daya dan kreatifitas warga negeri ini. Media digital dan sosial media haruslah menjadi ruang ekspresi dan kreatifitas, sehingga muncul inovasi-inovasi terbaru. Saatnya, generasi terbaik negeri ini sebagai pemain utama dalam ruang kompetisi teknologi. [dutaislam.com/ ab]

Hasan Chabibi, pengelola pendidikan di pesantren Baitul Hikmah Jakarta.

Source: Timesindonesia
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB