Menginjak Kaki Jama'ah Saat Shalat Beda Tipis dengan Menginjak Al-Qur’an
Cari Berita

Advertisement

Menginjak Kaki Jama'ah Saat Shalat Beda Tipis dengan Menginjak Al-Qur’an

Rabu, 22 Juni 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
dr. mahmud suyuti

Oleh Mahmud Suyuti

DutaIslam.Com - Setiap 17 Ramadan diperingati sebagai nuzul Qur’an, yakni peristiwa diturukannya Al-Qur’an. Nuzul dalam bahasa Arab adalah mashdar (kata benda) dari fiil (kata kerja) nazala, yanzilu, nuzulan yang berarti turun, hinggap dan jatuh. Jadi, nuzul berarti turun dari ketinggian. Dengan demikian, Nuzul Qur’an adalah diwahyukannya Al-Qur’an dari tempat ketinggian (Lauhul Mahfudz) dan Nabi Saw menerimanya.

Sedemikian tingginya, Al-Qur’an wajib dimuliakan dan mushafnya hanya boleh disentuh dalam keadaan suci. La yamassuhu illal muthahharun (tidak diperkenankan menyentuh Al-Qur’an kecuali orang-orang yang bersih dari hadast). Maksud menyentuh dalam ayat tersebut adalah bertemunya kulit seseorang dengan naskah Al-Quran secara fisik.

Menjadi tradisi di masyarakat kita jika hendak menyentuh Al-Qur’an terlebih dahulu dicium. Mengenai hal itu, ada pendapat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an berbahan kertas yang dibuat manusia adalah karya duniawi. Maka, mencium Al-Qur’an dianggap olehnya bagian dari memberhalakan Al-Qur’an.

Kenyataannya pula bahwa kalau Al-Qur’an hanya sebagai makhluk maka artinya bisa disamakan dengan ciptaan Allah Swt yang lain seperti rumput, yang tentunya bisa diinjak. Atas dasar itu, ada aktivis Islam sebelah yang saat mengkader adik-adiknya memposisikan Al-Qur’an sebagai makhluk. Ia menjadikan Al-Qur’an sebagai karya manusia yang kemudian dengan seenaknya ia injak-injak, bahkan dilempar kiri-kanan. Nauzubillah.

Terlepas apakah benar Al-Qur’an itu diinjak atau tidak olehnya, konon, sebelum dilempar kiri kanan, senior aktivis tersebut mengganti mushaf tadi dengan buku lain. Buku itulah yang diinjak.

Jika memang demikian, maka ini ibarat dosen yang menulis buku dan bukunya diinjak oleh mahasiswa. Tentu sang dosen marah karena dianggap menghilangkan kewibawaannya sebagai pendidik. Dianggap tidak menghargai bukunya atau karya ilmiah yang ditulisnya.

Naif dan riskan sekali jika kemuliaan Al-Qur’an yang diturunkan dari-Nya diinjak-injak. Itu artinya yang bersangkutan tidak mengakui keagungan Allah Swt yang menurunkan Al-Qur’an serta memuliakan Nabi Saw yang menerima al-Qur’an. Selain itu, ia juga menghina umat Islam yang menjadikan Al-Qur’an sebagai bacaan mulia dan berpahala.

Inilah kenyataan sekaligus fenomena yang mencoreng Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Beda tipis dengan ajaran (Islam) baru yang menginjak kaki jamaah sebelah saat salat.

Pengalaman saya di sebuah masjid begini:

Seseorang berjubah dan cingkrang memepetkan kakiknya ke kaki saya, yakni menempelkan jari kaki kecil (kelingkingnya) ke kaki saya. Spontan saya merasa geli (megele-gele). Menghindari itu, dan demi kekhusyu’an salat, saya mengambil jarak. Namun tetap saja kakinya menyeret-nyeret mencari kaki saya sehingga kaki orang tersebut mengangkang-melebar dan sedikit lagi mendekat ke kaki saya.

Karena sudah tidak khusyuk lagi, maka dengan terpaksa saya angkat kaki satu, tetapi tetap juga dia terus memepetkan kakinya itu, mencari kaki saya. Alternatif terakhir, oleh karena terasa sudah terangkat lama tiba-tiba saya jatuhkan kaki dan mengenai punggung kaki si jubah-cingkrang tadi. Terdengar suaranya merintih “wadduh”.

Usai salat, sepertinya dia marah-marah dan bertanya: kenapa ustazd (saya yang dimaksud) tidak mau merapatkan shaf sesuai petunjuk hadis?

Saya hanya jawab: tadinya shaf kita sudah rapat sebagaimana tentara, polisi, pramuka dan selainnya. Jika merapatkan barisan, ya cukup berdekatan, atau dekat sekali, hampir tidak berantara. Itulah yang dimaksud rapat (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm: 931).

Tapi Anda ini tidak mau rapat tapi justru melengketkan erat, yakni bersentuhan-menempel erat (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm: 660). Anda ini mulai awal salat (takbiratul ihram) dan seterusnya hanya konsentrasi ke kaki, bukan konsentrasi khusyu’ untuk mengingat Allah.

Bagi saya, ketika kita salat dalam keadaan khusyu’, sangat susah setan menyelinap di antara shaf-shaf. Jadi tadinya setan tidak ada tapi karena kekhusyu’an hilang, maka setan bukan saja nyelip di antara shaf kita oleh karena Anda mengangkangkan kaki kanan dan kiri Anda secara lebar menjauh. Maka dengan mudah setan masuk di tengah-tengahnya, yakni di tempat yang lebih luas, pas berada di bawah burung kamu. Itu lebih berbahaya! Wallahu A’lam! [dutaislam.com/ abdullah]

Mahmud Suyuti, ketua Matan Provinsi Sulawesi Selatan

Keterangan: Tulisan di atas adalah catatan ceramah Tarawih Selasa malam (17 Ramadan 1437 H/ 21 Juni 2016 M) dengan tema Nuzulul Qur’an di Mesjid al-Marhamah Kemenag Daya, Komplek Perumahan Kakanwil Sulawesi Selatan.
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB