Piye Penake, Itulah Indonesia
Cari Berita

Advertisement

Piye Penake, Itulah Indonesia

Sabtu, 05 Maret 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
DutaIslam.Com - Esai

Persatuan Indonesia Itu Mahal


Oleh Rizal Mumazziq

Di Libya, kubu Islamis menjalankan pemerintahan bayangan di Sirte, kota kelahiran Moammar Qadhafi, dengan dibantu jaringan al-Qaidah, sebagian juga simpatisan ISIS. Kubu sekuler pro-Barat bertumpu di Tripoli. Kedua kelompok buntu dialog, enggan berkompromi, dan sama-sama bersikeras dengan keinginan masing-masing. 

Kita belajar bahwa persatuan itu mahal, kawan!

Di Afganistan, majelis tertinggi Loya Jirga telah didirikan lebih dari satu dasawarsa silam, tapi masih menjadi medan pertarungan rasialis antara etnis Pushtun, Tajik, dan Kazakh. Etnis minoritas Hazara yang mayoritas Syiah tetap disisihkan. Di kubu lain, Taliban memilih menjadi oposan bersenjata. Tahun 2011, Burhanuddin Rabbani, sufi mujahidin yang menjadi presiden Afganistan di era 1990-an pulang ke negeri tercintanya usai di pengasingan. Ia ingin membantu Hamid Karzai mempersatukan faksi-faksi yang bertikai dengan jalan dialog. Dua orang utusan Taliban yang bertamu ke rumahnya dia sambut dengan pelukan, dan saat itu pula bom bunuh diri diledakkan. Rabbani, negarawan moderat itu, gugur di saat berusaha mempersatukan bangsanya.

Kita semakin tahu, persatuan itu mahal, akhi!

Di Pakistan, hari ini kubu garis keras Sunni membom masjid kaum Syiah, tak berselang lama ekstrimis Syiah memberondongkan AK-47 ke rombongan polisi Sunni. Di lain hari, simpatisan Taliban masuk ke sebuah aula universitas dan langsung memberondong mahasiswa dengan enteng disertai ledakan granat yang dilempar seperti petasan. Sebelumnya, mereka bahkan menembaki bocah-bocah di sebuah madrasah lalu merilis pers rilis tentang aksinya dengan bangga. Dua tahun sebelum ekstrimis ini beraksi, secara pengecut mereka bahkan ingin melenyapkan nyawa Malala Yousafzai, seorang siswi anak-anak (!) juga.

Kita juga belajar jika ketenangan dan ketentraman itu mahal, sahabat!

Di Irak, kota-kota yang menjadi basis ISIS maupun al-Qaidah adalah kota dengan penduduk mayoritas Sunni. Mereka sebagian mendukung ISIS antara lain karena alasan sentimentil: Syiah mendominasi pemerintahan Irak, termasuk dalam formasi militer terbaru. Jalur dialog dan konsep pembagian kekuasaan secara merata nyaris buntu. 

Demikian pula dengan yang terjadi di Suriah. Bashar terlalu nyaman duduk di pemerintahan, ia tak mau membaginya dengan kubu oposisi yang kemudian dimanfaatkan Barat mengguncang kursinya. Persoalan tambah runyam karena masing-masing membawa bolo-kurowonya masuk terlibat di padang Kurusetra sesama anak bangsa. 

Dari sini kita belajar, perdamaian mahal, dan tak mudah dicapai. Kita juga belajar dari sini, perang hanya melahirkan para jagoan, bukan negarawan, apalagi ulama jempolan.

Di saat negara-negara lain masih sibuk berkutat soal relasi antara agama dan negara, kita bersyukur para founding fathers Indonesia telah membangun sebuah konsep simbiosis mutualisme antara keduanya, untuk menjembatani kubu garis keras di faksi sekuler ala Barat maupun kelompok integralistik.

Di saat negara lain masih meraba-raba sebuah "kalimatun sawa" yang bisa mengikat secara ideologis seluruh elemen anak bangsa, kita bersyukur mempunyai Pancasila. Ia bukan agama dan tidak dapat menggantikan agama. Ini adalah rumusan dan pilihan paling rasional, faktual dan realistis untuk mempersatukan wilayah Nusantara.

Kalaupun ada pihak yang ingin menggantikan Pancasila dengan konsep yang "keren" dan "wow", kita tidak akan menyetujuinya. Mengapa? Karena tidak ada jaminan konsep mereka bisa lebik baik dari Pancasila ketika diimplementasikan dalam tataran realitas. Terlebih, pemerintahan ala mereka belum berdiri saja sudah suka main ancam dan terkesan otoriter, apalagi kalau mereka berkuasa. Ini adalah kelompok naif yang ingin mengubah dunia tapi lupa mengubah dirinya terlebih dulu. Kita harus belajar dari sejarah, dan juga, dari persoalan yang terjadi di Timteng saat ini.

Manakala kekuasaan dilihat dari sudut pandang "menang-kalah" dan bukan "bagaimana sebaiknya/piye penake" saat itulah kekuasaan menjadi alat penindas. Dan, bagi saya Indonesia adalah wujud kensensus "piye penake" yang tak perlu baku bunuh untuk mencapai perdamaian (civis pacem para bellum), tapi bisa diselesaikan dengan musyawarah sambil ngopi diselingi humor. Begitu. [ab]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB