DutaIslam.Com - Esai
Pesan Kata Tanpa Kesan
Oleh M Abdullah Badri
Begitu dishare, paket dakwah otomatis muncul di grup
WhatApp, Broad Cast BBM, Channel Telegram, Grup Facebook, hingga Fanpage dan ke
bilik-biik inbox kita. Tanpa pikir panjang pesan itu akan kena kepada siapa, -broadcaster
yang sering membaca lompat-lompat,- konten akhirnya potensial dibaca oleh
orang-orang yang sebetulnya tidak membutuhkan.
Satu sisi, laku mudah melempar pesan di rezim komunikasi
berbasis smarphone ini memudahkan kita untuk, sebutlah, syiar dakwah. Namun, di
sisi lain, pesan tidak berkesan sebagaimana kita mencatat dawuh kyai secara
tatap muka. Pesan broadcast dakwah yang sudah jadi viral, bagi saya, tidak
selalu dalam sub bab “al ilmu fis sudur” selama tidak diabadikan “fis
sutur”. Bicara sanad, broadcast jelas tanpa mursyid.
Masih lumrah jika kegelisahan Anda sebatas itu saja. Yang
membuat saya menulis esai ini karena di beberapa grup media personal, utamanya
WhatsApp, Telegram dan Grup Facebook, ada propaganda terbungkus kalimat tanpa
logika. Laku nyebar massage yang hari ini mudah dilakukan nampaknya
memang sesuai dengan hakikat propaganda, yang dalam bahasa Latin diterjemahkan
sebagai “mengembangkan atau memekarkan.”
Ironisnya, ada pesan jahat yang ingin membelokkan pembaca
dari fakta ke persepsi, menjurus kepada tindakan (mengikuti ajarannya dan
membagikan statusnya). Dan, pembaca enjoy saja meyakini kalau sanad konten
broadcast pasti sah dan penuh kebenaran. Niat menyebarkan ke sembarang orang “bi
niyyatin sholihatin,” padahal “La”.
Saya ambilkan contoh [1]: “Indonesia mayoritas Islam, tapi
yang disudutkan muslim/ lebih serem yang pakai cadar, daripada rok mini/ lebih
serem yang berjenggot, daripada yang tatoan/ pakai baju tauhid ditangkep, pakai
baju PKI gapapa/ lebih mentolelir aliran sesat daripada syariat/ yang majlis ta’lim
pekanan, fanatik, yang ke bioskop harian, gaul/ yang hafal 30 juz, militan,
yang hafal banyak musik, hebat/ yang anaknya dijilbabin, keterlaluan melangar
HAM, yang anaknya pakai rok mini, imutnya/ yang pakai baju koko, sok alim, yang
ga pakai baju, jantan/ yang hariannya bicara Islam, sok ustadz, yang hariannya
ghibah, up to date/ media islam, radikal, media porno kebutuhan/ dan seterusnya
hingga pada kalimat Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam
keadaan asing (HR. Muslim No. 208).”
Saya kutip lain lagi [2]: “Kalau mengaku toleran, mengapa
ketika ada orang memakai busana menutup aurat meradang? Kalau mengaku toleran,
mengapa antipati terhadap dengan orang yang tidak tahlilan? Dengan logika bodoh
saja, orang Nasrani, Budha, Hindu Konghucu juga tidak tahlilan. Bukankahkah
tahlilan juga bagian dari keberagaman
yang selama ini digembar-gemborkan? Lantas mengapa harus membawa-bawa
nama Pancasila untuk urusan tahlilan? Siapa yang bodoh dan siapa yang diragukan
Pancasilanya?”
Tambah satu lagi biar afdlol [3]: “Daftar Obat:
sering sakit = silakan puasa/ wajah
gelap = sholat tahajud/ hati sempit = baca al-qur’an/ susah bahagia = sholat
tepat waktu/ emosi melulu = wudlu dan istighfar/ gelisah = banyak do’a/
tertekan = baca la haula wala quwwata illa billah/ miskin melulu = bersedekah/
bingung berbuat baik = bagikan status ini pada sahabat, orang terkasih.”
Karena menganggap bingung pembaca, perintah yang datang,
bagikanlah! Begitu. Padahal, jika kita mau menyimak, logika perbandingan yang dipakai, payah. Dan
fakta sebenarnya, tenggelam karena logika perbandingan yang tersengal ingin
mencari legitimasi absah binti benar. Dalam broadcast di atas, posisi
biner digunakan. Untuk mendapatkan kebenaran, harus dihadapkan dengan musuhnya,
yakni kesalahan. Yang yang mengalir begini: [ jika berjenggot benar, tatoan
salah/ yang hafal 30 juz benar, yang hafal musik, salah.], [Kalau mengaku
toleran, benarkanlah yang menggunakan pakaian menutup aurat/ Kalau mengaku toleran,
benarkan yang anti tahlilan].
Membenarkan yang satu, menyalahkan lainnya, itu kerjaan
orang banyak alasan dan tidak berdaya membangun. Spirit bangkit dari kesalahan
mungkin akan terjadi. Tapi setelah label kebenaran dalam genggaman, orang lain
akan mudah disalahkan.
Dalam broadcast tersebut, propaganda bahwa situs porno
sebagai kebutuhan adalah kepicikan tak terperi yang dituduhkan kepada
pemerintah. Ingin menyerang PKI, pembuat broadcast memuja pakaian tauhid yang
entah bagaimana bentuk busananya. Kok bisanya juga penghafal al-Qur’an disebut
militan? Fakta darimana? Lha wong di ponpes al-Qur’an saya dulu penghafal
al-Qur’an tidak disebut demikian.
Untuk mendapatkan legitimasi tidak tahlilan dengan menyebut
orang di luar Islam saja tidak tahlilan, bagi saya, itu juga propaganda
murahan. Dari keberagaman, status itu ingin seragam. Dari kesalahan dan
kegelisahan, broadcast di atas ingin memaksakan kehendaknya. Linglung.
Isu Simbol Digunakan
Intinya, broadcast tersebut jika tidak dirantai, akan
melahirkan logika menyalahkan orang lain. Alasannya simpel, yang digunakan
dalil pembenaran selalu bersifat simbolik: cadar, jenggot, baju tauhid, jilbab,
baju koko. Pembenarannya menggunakan isu: toleransi dan keberagaman. Namun,
perlu dicatat, dalam broadcast itu tidak ada ajakan kontrol diri. Isinya
mengajak sholeh tapi tetap hiper-reaktif terhadap liyan. Ngajak adem tapi tetap
panas. Itu bisa Anda lihat di sampel pesan kata broadcast yang ketiga. Di sana
menyediakan daftar obat spiritual berbasis akhlaq namun tidak menyediakan
daftar obat hati berbasis kasih dan sayang. Kontrol diri terhadap orang lain
digarap, tapi kontrol diri sendiri, sepi.
Biasanya, status seperti di atas menegaskan bahwa Islam akan
muncul kembali dalam keadaan terasing. Dan, oleh karena itu, maju terus
hiraukan orang yang tidak sepaham, kembalilah kepada Al-Qur’an dan Hadits, sebagaimana
pemuda-pemuda ISIS edaran video Telegram Kabar Khilafah yang tidak lupa selalu
menyebut kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Jika pesan broadcast itu tidak segera dirantai, stop share
it, maka, generasi-generasi pemilik rezim smarphone ini akan terus digelayuti
kebenaran diri sendiri, kesholehan pribadi tapi minus kontrol terhadap diri
sendiri dan kasih sayang kepada orang lain. Saya mengamini jika Anda meyebut sumber
viral broadcast bukan dari penggandrung Syi’ir Tanpa Waton atau Syi’ir
Tombo Ati, tapi dari muqollid wahabi salafi. Mereka tidak akan paham
broadcastnya Habib Syekh bin Abdul Qadir yang selalu didengungkan Syekher
Mania, ini:
“Papali Ki Ageng Selo Amberkahi/ Ojo Gawe Angkuh, Ojo
Ladak Lan Ojo Jahil/ Ojo Ati Serakah lan Ojo Celimut/ Ojo Buru Aleman, Lan Ojo
Ladak/ Wong Ladak Pan Gelis Mati lan Ojo Ati Ngiwo.”
Broadcast itu tidak bicara simbol, tapi bicara laku, noto
laku, njejekke laku, menghargai diri sendiri dan orang lain. Lebih
mengayomi. Lebih menusuk ke relung hati. Tidak membikin panas di hati. Semoga kita tidak
tergolong seperti keturunan Dzul Khuwaishiroh, yang menghardik Nabi Muhammad
SAW itu. Amin. [ab]
M Abdullah Badri,
alumnus Madrasah TBS Kudus, Ketua MATAN
Jepara