Politik Penyesatan Sunni Syiah
Cari Berita

Advertisement

Politik Penyesatan Sunni Syiah

Sabtu, 02 Januari 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
DutaIslam.Com - Esai Kritik

Oleh AE Priyono

Tahun 2012, dua tahun sebelum Kyai Sahal meninggal dunia, beberapa orang ulama dan kyai dari Sampang, Madura, mendatanginya di pesantrennya di Pati, Jawa Tengah. Para kyai itu berniat meminta dukungan kyai terkemuka ahli fiqh itu berkenaan dengan kasus pengusiran dan pembakaran kampung orang-orang Syiah. Para kyai dari Madura itu mengungkapkan keresahannya atas berkembangnya faham Syiah di Madura yang mereka anggap sesat; dan karena itu meminta fatwa untuk membenarkan tindakan pembakaran rumah dan pengusiran orang-orang Syiah dari Madura.

Kyai Sahal menyimak uraian para ulama dan kyai Madura itu. Setelah selesai, Kyai Sahal mengucapkan sebuah kalimat pendek ini: “Jangan libatkan saya untuk urusan penyesatan orang-orang Syiah. Mereka itu Muslim.” Setelah menyatakan sikap yang jelas dan tegas itu, Kyai Sahal memasuki ruang-dalam rumahnya, dan tidak keluar lagi sampai para tamunya pulang.

Akhir Oktober lalu, di pesantren Nurul Kholil, Bangkalan, telah diresmikan terbentuknya AUMA (Aliansi Ulama Madura). Pembentukan organisasi baru ini dimaksudkan untuk melindungi umat Islam di Madura dari pengaruh Syiah sebagai ajaran sesat. Selain Syiah, UAMA juga menyatakan Islam Liberal sebagai paham yang juga sesat, yang harus dienyahkan dari Madura.

Kita tidak tahu apakah para ulama Madura yang tergabung dalam AUMA itu yang tiga tahun sebelumnya mendatangi Kyai Sahal di Pati. Yang jelas paham yang dibawa AUMA mengenai Syiah berlawanan dengan pandangan Kyai Sahal – yang merepresentasikan padangan para ulama NU – yang sejauh ini menolak menganggap Syiah sebagai ajaran sesat. Bukan hanya NU, Muhammadiyah pun menganggap Syiah adalah bagian sah dari Islam. Dua organisasi muslim terbesar di Indonesia ini sudah sejak lama berdiri dalam posisi yang menentang arus gerakan penyesatan Syiah yang makin marak hari-hari ini.

Pengaruh Timur-Tengah
Kampanye anti-Syiah selama ini diidentifikasi digerakkan oleh para ulama dan aktivis organisasi-organisasi Islam garis keras. Orang menunjuk mereka ini terilhami atau terindoktrinasi oleh pandangan Salafi dan Wahabi, dua pandangan keagamaan yang dipromosikan oleh Arab Saudi ke seluruh dunia, terutama sejak tahun 2003.

Fanar Haddad, dalam sebuah ulasannya di jural Foreign Policy,[1] memperlihatkan bahwa di Dunia Islam retorik-retorik anti-Syiah mengalami penajaman yang mengeras bersamaan dengan terjadinya kontestasi politik regional di kawasan Timur Tengah antara Arab Saudi dan Iran. Bahasa dan retorika anti-Syiah yang digunakan di Timur Tengah selama ini memang terus mewarnai ketegangan politik di antara bangsa-bangsa Arab di Timur Tengah, khususnya akibat makin berpengaruhnya politik luar Iran di kawasan itu.

Tapi Fanar memperlihatkan telah terjadi pengerasan retorika anti-Syiah itu dari sekadar sentimen bernada etnis menjadi sentimen bernada religius. Bangsa-bangsa Arab Sunni biasanya menyebut orang-orang Syiah dengan istilah ajam. Istilah ini sepenuhnya berkonotasi etnis, dengan nada pejoratif bahwa mereka tidak murni Arab dan dianggap lebih inferior secara kultural. Penggunaan istilah baru muncul sejak tahun 2003 dengan sebutan Rafidhah untuk orang-orang Syiah, kali ini dengan konotasi yang bersifat religius. Pengertian Rafidhah sendiri dimaksudkan untuk menunjukkan terjadinya penyimpangan ajaran, atau penyangkalan terhadap ortodoksi mainstream yang dianggap lebih unggul.

Dalam pandangan Fanar, konotasi spesifik mengenai Syiah dengan menyebut mereka sebagai golongan Rafidhah mendapatkan pembenaran doktrinalnya ketika seorang ulama salafi dari Iraq melontarkan berbagai kecaman polemis anti-Syiah untuk kepentingan politik. Didukung oleh gerakan politik lokal pasca Saddam Husein, ia ketika itu sedang membangun basis politik fundamentalis yang disebutnya harus “bebas-Syiah” di sekitar sungai Eufrat.

Ulama-politisi ini, Taha al-Dulaimi, memang dengan sengaja mengobarkan sentimen chauvinis Arab dengan kamuflase mengenai bahaya Syiah yang memiliki tradisi membangkang dalam agama. Dulaimi misalnya mempersoalkan berbagai doktrin yang dipraktikkan kaum Syiah – sepertikhumus, rukun iman kepada Imam, dan tentang kawin mut’ah – sebagai ajaran-ajaran yang sesat.

Singkat kata, sejak itulah persaingan sektarian yang menguat dalam pengertian religius antara Sunni-Syiah mulai menyebar luas di Timur Tengah. Apalagi sejak terjadi pengusiran besar-besar komunitas Syiah di Irak hingga sampai tiga juta orang mengungsi, dan belakangan balasan pengusiran golongan Sunni di Syria dan Yaman oleh pemerintahan Syiah.

Sunni-Syiah di Indonesia
Retorik anti-Syiah di Indonesia belakangan ini, sesungguhnya benar-benar memperlihatkan latar politik pergolakan di Timur Tengah. Jika diperhatikan benar, yel-yel penyesatan Syiah muncul bersamaan dengan berkibarnya bendera-bendera dan slogan ISIS yang muncul di beberapa kota di Indonesia.

Dalam foto yang beredar luas di media sosial tak lama setelah terjadi pengusiran kaum Syiah di Bogor melalui SK Walikotanya yang kontroversial baru-baru ini, muncul ilustrasi simbolik yang menggambarkan bagaimana Bima Arya, sang Walikota, dikerumuni oleh para aktivis muslim garis keras yang mengangkat telunjuk jari mereka berama-ramai. Simbol tulunjuk jari yang diacungkan tinggi-tinggi itu selama ini dipertontonkan pula oleh anggota kelompok ISIS di tingkat global.
Siapapun bisa mencium bahwa munculnya politik penyesatan terhadap kelompok Syiah yang makin garang di Indonesia mempunyai paralelisme dengan gelombang anti-Syiah yang digelorakan oleh kalangan Wahabis dan Salafis yang didukung Arab Saudi.

Politik penyesatan terhadap Syiah di Indonesia sebetulnya tidak memiliki preseden historis yang bersifat lokal. Banyak bukti menunjukkan bahwa tradisi dan khazanah keagamaan Syiah sedikit banyak sudah terserap dalam kebudayaan-kebudayaan muslim lokal. Ini menggambarkan penyebaran Islam di Nusantara dilakukan pula oleh para ulama Syiah yang berjalan beriringan dengan para ulama Sunni.

Dalam konteks politik, gerakan penyesatan Syiah juga bertentangan dengan doktrin dan etos kewarganegaraan Indonesia yang dari dulu diilhami oleh semangat kebhinekaan. Indonesia adalah rumah bersama bagi semua umat beragama, pun bagi semua golongan etnis. Almarhum Nurcholish Madjid mengemas tradisi pluralis dalam praktik politik kewarganegaraan Indonesia dalam doktrin kembar “pluralisme internal” dan “toleransi eksternal.”

Bagi kaum Muslim Indonesia, di mana doktrin itu terutama dikampanyekan, itu berarti umat Islam mengakui adanya perbedaan sekte dan aliran di kalangannya sendiri – termasuk pengakuan atas paham yang dikembangkan Syiah maupun Ahmadiyah – sambil menjalankan praktik toleran (tasamuh) dengan kalangan penganut agama lain.

Sungguh ganjil bahwa selama sepuluh tahun terakhir ini doktrin Cak Nur itu seakan-akan lenyap tanpa bekas. Terhadap Syiah dan Ahmadiyah, kelompok-kelompok Salafis dan Wahabis itu justru menyarankan anjuran agar mereka keluar dari Islam, dengan argumen bahwa mereka sesat atau mereka memang bukan bagian dari Islam. “Lebih baik mereka menyatakan menjadi agama tersendiri, daripada mengacaukan dan merusak akidah umat Islam,” demikian argumen rata-rata mereka.
Jelaslah bahwa argumen seperti itu bertentangan dengan politik kewarganegaraan Indonesia. Anehnya, praktik politik penyesatan itu dikamuflase dengan sentimen pro-NKRI. Karena Syiah dan Ahmadiyah dianggap sesat, begitu mereka berkampanye, maka kedua agama itu harus enyah dari NKRI.

Slogan seperti itu, di masa depan, akhirnya juga akan berkembang menjadi sentimen untuk mengusir agama-agama lain yang oleh mereka juga dianggap sesat. Indonesia akhirnya akan mereka kangkangi sendiri. Politik penyesatan, karena itu, haruslah dianggap sebagai bagian dari kolonisasi Wahabis dan Salafis terhadap Indonesia. [ab]



AE Priyono,
Pemimpin Redaksi Civica (Civic-Islam)









Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB