Watak Asli Kekuasaan Media Massa dan Medsos
Cari Berita

Advertisement

Watak Asli Kekuasaan Media Massa dan Medsos

Senin, 21 Desember 2015
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Prie GS

DutaIslam.Com - Apa hubungan Twitter dan Facebook dengan Pak Harto? Tak ada. Tetapi pantomimer Yogya, Jemek Supardi menghubungkan keduanya. Di status Facebook yang saya kutip bebas Jemek menulis: ‘’Di zaman Pak Harto, tak ada orang masuk penjara gara-gara menulis di Twitter.’’ 

Pembaca yang kurang tenang akan luput memahami humor ini. Humor Jemek ini setara dengan pesan Gus Dur setelah lengser sebagai presiden, kepada presiden penggantinya. ‘"Zaman saya sebagai presiden, tak ada kemacetan," katanya. Jelas saja, saat presiden lewat semua memang harus minggir.

Jika Jemek hanya menghubungkan Twitter dengan Pak Harto, saya malah akan menarik hubungan itu lebih jauh lagi, ke era Presiden Amerika saat itu, Abraham Lincoln. Twitter, Facebook dan akun serupa di dunia internet ternyata erat hubungannya dengan pernyataan Abraham Lincoln ini: "Untuk mengetahui karakter asli seseorang, beri dia kekuasaan." (Baca: Sebut Pahlawan Kafir Penghianat, Caleg Gagal PKS Ini Diberi Gelar Ratu Hoax

Era saya merintis karier sebagai wartawan adalah era ketika surat kabar harus mendapat surat izin terbit. Surat itu adalah palu maut yang setiap saat bisa menghantam pemiliknya sendiri. Level tertinggi di kantor saya pun bekeja dalam ketegangan, apalagi level saya yang ada di level terendah. 

Hampir semua media masa berwatak sopan, hampir semua wartawan patuh kepada pakem jurnalistik. Itulah era ketika media nyaris tanpa kekuasaan pada jurnalismenya sendiri. Baru ketika surat ijin itu tak diperlukan, tesis Lincoln mulai terasa benar. 

Ketika media dibebaskan, bahkan departemen paling  menakutkan bagi media saat itu, Departemen Penerangan, dibubarkan oleh Gus Dur, media massa kembali pada wataknya sendiri-sendiri. Itulah watak yang asli. Yang aslinya gemar memaki, akan menjadi jurnalisme pemaki. 

Yang marwahnya berinvestigasi akan semakin berinvestigasi. Media tidak lagi seragam seperti sebelumnya. Sebuah keseragaman yang sejatnya aneh, karena solah-olah semua koran dan majalan dipimpin olah seorang belaka.

Kini, puncak dari selebrasi media adalah kelahiran intenet yang menelorkan berbagai akun publik gratis dan segera membuat nasib media cetak babak belur. Kelahiran internet melahirkan tak cuma banyak manfaat tetapi juga korban. Dan korban terbesarnya adalah guncangan sosial.  

Kini hampir setiap orang adalah  wartawan sekaligus pemilik koran dan televisinya sendiri. Televisi paling menarik, paling pribadi, paling boleh sesuka hati apalagi kalau bukan YouTube. Dan tak perlu bertanya kepada lembaga riset siapa penontonnya. Penonton itu adalah seisi jagat raya, sepanjang di situ ada internet. Jadi televisi apalagi yang semenarik ini. 

Begitu juga Twitter dan Facebook, yang ketika seseorang orang sudah memiliki sebuah akun, ia merasa memiliki sebuah kedaulatan. Ada perasaan merdeka di sana. Rasa merdeka itulah inti kekuasaan. Jadi para pemilik akun itu adalah penguasa tunggal dan dari caranya berkuasa itulah tergambar watak aslinya.

Ada yang memakai akunnya itu sebagai kerajaan. Sebagian lain sebagai mimbar bebas. Sebagian lagi sekadar menjadi lapak dagangan dan ajang selfie. Tetapi apapun pilihannya, para akun itu memberi rasa bebas bagi pemiliknya untuk mengeskpresikan apa saja. Di sana orang boleh melakukan pencitraan secitra-citranya, boleh menjadi bijak sebijak-bijaknya, atau menjadi pemaki kotor sekotor-kotornya. 

Hasil yang paling menonjol dari para pemilik akun itu adalah keaslian wataknya. Tak semua watak asli itu menguntungkan karena sebagian malah mendatangkan bermacam-macam persoalan. Jadi berhati-hatilah pada sebuah keadaan ketika watak asli Anda sedang dipancing keluar untuk dipertontonkan. [dutaislam.com/ ab]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB